Suara mahasiswa,Solusi perwisataan Indonesia
Indonesia, negara kaya dan strategis dengan lokasi di antara dua
benua(Asia dan Australia),dua samudera(pasifik dan hindia), iklim tropis
khatulistiwa, serta kekayaan budaya yang
menjadikan negara ini kaya akan potensi wisata (alam dan non-alam). Apabila
dimaksimalkan, potensi itu dapat mendatangkan devisa yang fantastis jumlahnya,
sehingga dapat membantu masalah finansial negara ini. Sayang, banyak oknum
dalam pemerintah kita yang terlalu sibuk dengan memperkaya diri pribadi dan
terlalu banyak menguras energi akan polemik politik demi keuntungan kelompok
tertentu. Selain itu, banyaknya masalah lain yang melanda negeri ini menjadikan
potensi wisata ini sering terlupakan.
Efek dari terlupakannya potensi itu
dapat kita lihat dari Indeks Daya Saing Pariwisata Indonesia yang dikeluarkan
oleh World Economic Forum(WEF) tahun 2009 lalu. Hasil riset menunjukkan Pada
tahun 2008 Indonesia menempati posisi 80 dari 130 negara, namun tahun 2009
turun ke posisi 81 dari 133 negara yang diteliti. Peringkat 10 besar didominasi
oleh negara barat, yaitu Swiss, Swedia, Kanada, Prancis, Jerman dan Austria.
Kita kalah dari Singapura, Malaisya, Brunei Darussalam, dan Thailand yang
potensi wisatanya jauh di bawah Indonesia. Padahal jika kita berdiri sebagai
orang yang paham akan potensi wisata negara ini, tentu akan merasakan bahwa
data yang dikeluarkan oleh WEF adalah kebohongan publik, mengingat bagaimana
mungkin negara dengan potensi wisata yang incridible
ini bisa mendapat peringkat jongkok.
Dari paparan
singkat diatas, penulis melihat permasalahan mendasar dalam memajukan
pariwisata Indonesia adalah masalah pengelolaan. Pengelolaan ini menghasilkan dua
permasalahan pokok yang menjadikan perwisataan Indonesia sulit untuk
berkembang. Pertama, kurangnya perhatian pemerintah dalam mengelola pariwisata.
Selain karena masalah politik, dana yang dikucurkan untuk pengembangan
pariwisata dinilai masih kurang, terbukti dari data pokok APBN tahun 2010, dana
untuk pariwisata dan budaya berkisar 1,8 trilyun. Angka tersebut dinilai
relatif kecil, karena dalam rinciannya tidak ada pendanaan untuk litbang.
Padahal litbang adalah komponen penting dalam pengembangan pariwisata karena
dibutuhkan untuk pendataan potensi daerah yang layak dijadikan tempat wisata.
Penulis menyadari bahwa dana APBN saja tidak cukup dalam pengembangan
pariwisata, sehingga dibutuhkan sokongan dana dari luar. Maka, sudah menjadi
kewajiban Kementrian Pariwisata dan Kebudayaan bekerjasama dengan Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BPKM) untuk mencarikan investor (lokal maupun
asing) demi mengembangkan pariwisata.
Seperti contoh, dataran tinggi Dieng. Menurut
kalkulasi yang pernah dimuat di Harian Suara Merdeka (6/9/10), kawasan wisata
Dieng akan menjadi hight class jika
disokong dengan dana minimal 100 milyar rupiah,jika ini terjadi maka kawasan
ini dapat mengalahkan perwisataan Singapura. Bayangkan, satu daerah Dieng saja
berpotensi untuk mengalahkan satu negara, apalagi kalau seluruh potensi wisata
negara ini termanfaatkan dengan baik. Dari contoh daerah Dieng, angka 100
milyar hanyalah satu persepuluh dari anggaran di APBN, tentu akan menjadi hal
sulit jika seluruh potensi perwisataan dibebankan pada APBN saja, inilah yang
menjadi alasan kuat investor sangat diperlukan.
Kedua, belum adanya Branding yang
“menggigit” dalam pemasaran pariwisata Indonesia, kalaupun pernah memasang
brand, tidak adanya konsistensi dan kurangnya booming dalam menyuarakan menjadi masalah utama.
Berdasarkan penelitian ilmiah yang
dilakukan oleh Profesor Arysio Santos dos Nunes, ahli fisika nuklir dan Geolog
asal Brazil, setelah 30 tahun meneliti legenda Atlantis menemukan bukti kuat
jika Indonesia adalah Atlantis yang hilang. Wilayah Indonesia memenuhi seluruh
syarat Plato tentang Atlantis dibanding wilayah lainnya di dunia. Bahkan,
penelitian Santos kini telah banyak didukung oleh peneliti dari Amerika, yang
awalnya menolak hasil temuannya.
Harusnya hasil penelitian ini
mendapat apresiasi besar dalam menciptakan branding
yang baik untuk pariwisata Indonesia. Jika Malaisya memiliki branding:“Malaisya, trully Asia.”Dari temuan ini,
penulis menawarkan branding yang diharapkan menjadi ikon dalam pariwisata
Indonesia,penulis menawarkan kalimat:”
Indonesia, The Real Atlantis” untuk
dijadikan branding pariwisata Indonesia. Penulis menilai, sekarang yang ada
dalam setiap iklan, gambar-gambar yang beredar tentang pariwisara hanya kalimat
“Visit Indonesia” bagaimana mungkin
kita menarik wisatawan hanya dengan kalimat Visit Indonesia yang tidak menjual
tersebut?. Inilah yang menjadikan branding dengan kalimat menjual sangat
dibutuhkan. Butuh publikasi yang masif dalam penjualan sebuah brand. Mulai dari
iklan, ikon-ikon publik, acara-acara liveshow,
bahkan perfilman Indonesia juga harus bergerak untuk hal ini.
Penulis sangat mengharapkan
pemerintah untuk mengambil bagian akan hal ini, jangan sampai kita jauh dari
kesan kreatif dan tidak tanggap pada temuan yang luar biasa ini. Karena, temuan
Profesor Santos amat sangat bisa dieksploitir oleh pemerintah Indonesia dalam
memperbanyak aliran devisa ke negara kita. Bayangkan saja, para ahli dari
Amerika saja banyak mendukung hasil penemuannya, bagaimana kita yang jadi objek
penemuan? Harusnya kita lebih masif dalam hal ini.
Dua hal utama tadilah yang dapat
menjadi solusi perwisataan Indonesia, semoga pemerintah cepat tanggap dalam
menyikapi temuan luar biasa Prof. Santos dan segera mempublikasikan Branding perwisataan Indonesia yang
lebih “menggigit.” Semoga.
Mireza Fitriadi
Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar