search...

Rabu, 06 Maret 2013

IDEALITAS SUPREMASI NEGARA HUKUM



Setengah abad lebih enam belas tahun sudah republik ini mengaklaim diri sebagai negara merdeka. Namun, berbagai pandangan menyatakan bahwa kita belum pantas untuk merdeka sepenuhnya.

Pandangan tersebut dapat dibenarkan, hal itu didasarkan pada dua perspektif kemerdekaan, kemerdekaan internal dan kemerdekaan eksternal. Kemerdekaan eksternal berarti suatu negara bebas dari tekanan/pengaruh dari negara luar. Tekanan itu dapat bersifat militer/agresi maupun non-militer(seperti tekanan politik internasional, ekonomi, dll). Sedangkan kemerdekaan internal adalah terjaminnya hukum dan keadilan bagi seluruh rakyat negara. Sehingga, berdasarkan dua sudut pandang di atas, untuk keadaan sekarang, dapat dikatakan negara kita baru merdeka secara administratif.

Salah seorang ahli ilmu hukum Indonesia, Prof.Charles Himawan mengatakan bahwa kemerdekaan dapat terwujud jika hukum dan keadilan pada suatu negara terjamin pelaksanaannya. Beranjak dari situlah, kemerdekaan internal merupakan hal krusial untuk menjadi merdeka sepenuhnya. Dalam prakteknya, kemerdekaan internal hanya dapat terlaksana jika suatu negara memiliki penegakan supremasi hukum yang absolut, yaitu memiliki sistem dan pelaku lingkup peradilan yang bersih, profesional, idealis, dan jauh dari sifat koruptif.

Hal ini dikarenakan oleh maksud supremasi hukum itu sendiri. Dalam Black’s Law Dictionary, supremasi hukum (Supremacy of law) adalah setiap subjek hukum memiliki kesamaan di hadapan hukum (equality before the law).

Dalam logika hukum, merosotnya wibawa hukum masih dapat ditolerir apabila hal ini terjadi di luar arena badan peradilan. Misalnya, kesalahan yang dilakukan oleh pejabat publik dalam hal tender sehingga memunculkan tindak pidana korupsi. Pelecehan hukum yang terjadi di luar badan peradilan masih dapat dimengerti, karena pada akhirnya pelecehan itu akan diperbaiki oleh badan peradilan.

Akan tetapi, apabila pelecehan hukum itu terjadi di dalam badan peradilan sendiri, maka sukarlah bagi praktisi pembangunan untuk mengembalikan wibawa hukum. Kesulitan itu semakin bertambah besar apabila pelecehan itu terjadi di suatu negara hukum. Hal ini dikarenakan, dalam konsep negara hukum, Hukum adalah Raja, sehingga garda utama dalam penegakan hukum adalah yudikatif (petugas peradilan: kepolisian, jaksa, hakim, bahkan KPK). Bahkan seorang presiden sekalipun, tidak dapat untuk berbuat seenaknya karena geraknya dikawal oleh undang-undang dasar (hukum).

Pelecehan di lingkup peradilan inilah, yang sampai hari ini menyebabkan negara kita belum mampu merdeka sepenuhnya. Tentu masih menjadi newspeg, saat beberapa Pejabat KPK dituding terlibat dalam kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Nazarudin cs. Atau hal lain saat seorang jaksa Cirus Sinaga yang seharusnya mengawal kasus Gayus, malah ikutan “bermain” didalamnya.Tidak hanya ruang lingkup KPK dan Kejaksaan saja, institusi POLRI dan Kehakiman-pun turut menjadi korban. Saat rekening beberapa pejabat POLRI yang besarnya jauh di atas normal rekening pejabat POLRI lainnya, menambah stigma negatif masyarakat terhadap penegak hukum. Apalagi, baru-baru ini saat salah seorang Hakim, yang seharusnya menjadi tempat bagi publik untuk mendapat keadilan (Syarifudin) di daerah Jakarta ditangkap karena diduga melakukan tindak pidana korupsi.

Akan tetapi, bukan berarti permasalahan sekarang tidak ada solusi. Dalam Hukum Administrasi Negara, ada istilah Goverment Officer (petugas pemerintahan), mereka adalah semua orang yang bekerja untuk pemerintahan formal (jaksa, hakim, pegawai KPK, anggota POLRI, anggota komisi independen lain, dll) dimana sumber dana mereka berasal dari APBN. Termasuk ke-empat catur wangsa didalamnya. Hal inilah yang dalam hukum administrasi, dapat menimbulkan depedensi lembaga (ketergantungan), karena sumber dana mereka berasal dari corong yang sama. Sehingga, kinerja badan peradilan tidak maksimal.

Dalam negara demokrasi modern, ada istilah Citizen Officer (pejabat masyarakat) yang menjadi unsur pengawas dan pembantu dalam penegakan supremasi hukum (Lembaga Swadaya Masyarakat). Ambil contoh saat Dewan Etik ICM (Indonesian Court Monitoring) mengambil sikap tegas terhadap “Hakim S”, tersangka kasus suap di sebuah Pengadilan Negeri di Jakarta agar ia segera dicopot dari jabatannya. Atau contoh lain saat ICW (Indonesian Corruption Watch) memperjuangkan/mengawal agar “rekening Gendut POLRI” segera di sidik di KPK.

Tidak dapat dipungkiri, keberadaan ICW (Indonesian Corruption Watch), ICM (Indonesian Court Monitoring), PuKAT (Pusat Kajian Anti Korupsi) dan Citizen Officer lainnya telah menjadi pilar kelima dalam penegakan Supremasi Hukum di Indonesia. Hal itu dikarenakan, secara administratif mereka tidak terikat (indepedensi) dana dengan badan formal yang memungkinkan mereka untuk bergerak secara sangat objektif. Ditambah lagi, potensi kerugian keuangan negara (pasal 2 dan 3 UU Tipikor) dapat dikurangi mengingat sumber dana yang bukan dari APBN.

Selain itu, idealisme para anggota yang konsisten dalam penegakan supremasi hukum menjadikan Citizen Officer (petugas masyarakat) ini sebagai pilar utama dalam mewujudkan peradilan Indonesia yang lebih bermatabat. Sehingga, supremasi hukum yang ideal, merdeka dan konsep Check and Balances akan terlaksana.

Due process of law

MIREZA FITRIADI
MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar