search...

Rabu, 06 Maret 2013

Harus bijak menjalankan fase tahun politik




(Koran Sindo 1 Maret 2013)
Memang dapat dibenarkan secara sosiologis, bahwa seseorang dapat menjalankan fungsinya dalam berbagai konsentrasi. Hal itu dapat dianggap wajar karena keberadaan seseorang dapat dibutuhkan oleh beberapa lingkungan sosialnya. Apalagi kalau peranan seseorang itu merupakan peran tertinggi dalam republik ini.
Jika menggunakan pendekatan sosiologis di atas, maka tindakan seorang kepala negara yang sekaligus menjadi pimpinan dalam suatu partai politik dapat dibenarkan. Namun, belum tentu hal tersebut menjadi benar ketika terjadi benturan dengan status hukum seorang presiden.
Beberapa waktu lalu, Presiden SBY langsung mengambil alih kepemimpinan Partai Demokrat dari Ketua DPP-nya Anas Urbaningrum. Tindakan tersebut dilakukan oleh SBY karena adanya bocoran soal Surat Perintah Penyidikan terhadap Anas, dan juga karena krisis yang dialami oleh PD terhadap pemilu 2014.
Tindakan inilah yang mengharuskan seorang presiden berbuat bijak. Bijak dalam artian seimbang menjalankan fungsinya sebagai kepala negara dan anggota partai.
Sebagai negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial, presiden bertindak sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Kepala negara artinya dia menjalankan fungsi perwakilan negara RI di luar. Sedangkan kepala pemerintahan, berdasarkan makna dari pasal 4 ayat 1 UUD 1945, presidenlah yang bertugas untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Tugas pokok presiden yang tercantum dalam preambule konstitusi tersebut mengisyaratkan bahwa fokus pekerjaan seorang presiden adalah mendahulukan kepentingan umum dibandingkan kepentingan kelompoknya.
Seorang kepala pemerintahan berbeda artinya dengan kepala pemerintah. Kepala pemerintahan artinya dia bertugas mengkoordinasikan ketiga pilar kenegaraan: eksekutif, legislatif, dan yudikatif.  Sedangkan kepala pemerintah hanyalah  hanyalah ada eksekutif saja. Dari gambaran tugas yuridis seorang presiden tersebut, sangatlah jelas bahwa tidak ada unsur parpol di dalamnya. Memiliki jabatan ganda yang berbenturan antara tugas negara dengan kepentingan kelompok tertentu adalah suatu kekeliruan.
Ditambah lagi, seorang presiden dipilih dalam suatu mekanisme pemilihan umum, dimana suara yang mendukungnya tidak hanya dari kader partai pengusungnya saja, melainkan seluruh elemen rakyat ikut serta di dalamnya. Suara pemilih SBY dalam pemilu 2009 berjumlah 73,9 juta suara atau 60,8 % dari total pemilih. Tentunya itu bukanlah jumlah yang sedikit untuk dapat dipertangung jawabkan apabila seorang presiden malah ternyata menduduki jabatan ganda pada suatu parpol tertentu.
Di sinilah perlu perbuatan yang bijak dari seorang presiden. Seimbang menjalankan fungsinya sebagai presiden artinya menegakkan norma dan kebutuhan di dalam wadah yang tepat. Boleh saja seorang presiden Melayani partai konstituennya, tetapi ia harus bijak dalam meletakkan posisinya sebagai presiden dan anggota partai.
Memberikan contoh yang ideal akan menjadikan presiden reliable dalam menjalani tahun politik 2013. Indonesia adalah negara hukum, begitu bunyi konstitusi kita. Maka seharusnya presiden haruslah memberi contoh yang ideal untuk menegakkan hukum, demi tercapainya Indonesia yang demokratis.

MIREZA FITRIADI
MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar