Hukum yang merdeka
Setengah abad
lebih enam belas tahun sudah republik ini mengaklaim diri sebagai negara
merdeka. Namun, berbagai pandangan menyatakan bahwa kita belum pantas untuk
merdeka sepenuhnya.
Pandangan tersebut dapat dibenarkan, hal itu
didasarkan pada dua perspektif kemerdekaan, kemerdekaan internal dan
kemerdekaan eksternal. Kemerdekaan eksternal berarti suatu negara bebas dari
tekanan/pengaruh dari negara luar. Tekanan itu dapat bersifat militer/agresi maupun
non-militer(seperti tekanan politik internasional, ekonomi, dll). Sedangkan
kemerdekaan internal adalah terjaminnya hukum dan keadilan bagi seluruh rakyat
negara. Sehingga, berdasarkan dua sudut pandang di atas, untuk keadaan
sekarang, dapat dikatakan negara kita baru merdeka secara administratif.
Salah seorang ahli ilmu hukum Indonesia,
Prof.Charles Himawan mengatakan bahwa kemerdekaan dapat terwujud jika hukum dan
keadilan pada suatu negara terjamin pelaksanaannya. Beranjak dari situlah,
kemerdekaan internal merupakan hal krusial untuk menjadi merdeka sepenuhnya.
Dalam prakteknya, kemerdekaan internal hanya dapat terlaksana jika suatu negara
memiliki penegakan supremasi hukum yang absolut, yaitu memiliki sistem dan
pelaku lingkup peradilan yang bersih, profesional, idealis, dan jauh dari sifat
koruptif.
Hal ini dikarenakan oleh maksud supremasi hukum itu
sendiri. Dalam Black’s Law Dictionary, supremasi hukum (Supremacy of law) adalah setiap subjek hukum memiliki kesamaan di
hadapan hukum (equality before the law).
Dalam logika hukum, merosotnya wibawa hukum masih
dapat ditolerir apabila hal ini terjadi di luar arena badan peradilan.
Misalnya, kesalahan yang dilakukan oleh pejabat publik dalam hal tender
sehingga memunculkan tindak pidana korupsi. Pelecehan hukum yang terjadi di
luar badan peradilan masih dapat dimengerti, karena pada akhirnya pelecehan itu
akan diperbaiki oleh badan peradilan.
Akan tetapi, apabila pelecehan hukum itu terjadi di
dalam badan peradilan sendiri, maka sukarlah bagi praktisi pembangunan untuk
mengembalikan wibawa hukum. Kesulitan itu semakin bertambah besar apabila
pelecehan itu terjadi di suatu negara hukum. Hal ini dikarenakan, dalam konsep
negara hukum, Hukum adalah Raja, sehingga garda utama dalam penegakan hukum
adalah yudikatif (petugas peradilan: kepolisian, jaksa, hakim, bahkan KPK).
Bahkan seorang presiden sekalipun, tidak dapat untuk berbuat seenaknya karena
geraknya dikawal oleh undang-undang dasar (hukum).
Pelecehan di lingkup peradilan inilah, yang sampai
hari ini menyebabkan negara kita belum mampu merdeka sepenuhnya. Tentu masih
menjadi newspeg, saat beberapa
Pejabat KPK dituding terlibat dalam kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan
oleh mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Nazarudin cs. Atau hal lain saat
seorang jaksa Cirus Sinaga yang seharusnya mengawal kasus Gayus, malah ikutan
“bermain” didalamnya.Tidak hanya ruang lingkup KPK dan Kejaksaan saja,
institusi POLRI dan Kehakiman-pun turut menjadi korban. Saat rekening beberapa
pejabat POLRI yang besarnya jauh di atas normal rekening pejabat POLRI lainnya,
menambah stigma negatif masyarakat terhadap penegak hukum. Apalagi, baru-baru
ini saat salah seorang Hakim, yang seharusnya menjadi tempat bagi publik untuk
mendapat keadilan (Syarifudin) di daerah Jakarta ditangkap karena diduga
melakukan tindak pidana korupsi.
Goverment dan Citizen Officer
Akan tetapi, bukan berarti permasalahan sekarang
tidak ada solusi. Dalam Hukum Administrasi Negara, ada istilah Goverment Officer (petugas
pemerintahan), mereka adalah semua orang yang bekerja untuk pemerintahan formal
(jaksa, hakim, pegawai KPK, anggota POLRI, anggota komisi independen lain, dll)
dimana sumber dana mereka berasal dari APBN. Termasuk ke-empat catur wangsa
didalamnya. Hal inilah yang dalam hukum administrasi, dapat menimbulkan
depedensi lembaga (ketergantungan), karena sumber dana mereka berasal dari
corong yang sama. Sehingga, kinerja badan peradilan tidak maksimal.
Dalam negara demokrasi modern, ada istilah Citizen Officer (pejabat masyarakat)
yang menjadi unsur pengawas dan pembantu dalam penegakan supremasi hukum
(Lembaga Swadaya Masyarakat). Ambil
contoh saat Dewan Etik ICM (Indonesian Court Monitoring) mengambil sikap tegas
terhadap “Hakim S”, tersangka kasus suap di sebuah Pengadilan Negeri di Jakarta
agar ia segera dicopot dari jabatannya. Atau contoh lain saat ICW (Indonesian
Corruption Watch) memperjuangkan/mengawal agar “rekening Gendut POLRI” segera
di sidik di KPK.
Keberadaan organisasi masyarakat ini menimbulkan
pemikiran baru dalam dunia hukum modern. Bahkan beberapa ahli mengatakan bahwa keberadaan
Citizen Officer seperti ICW (Indonesian Corruption Watch), ICM (Indonesian
Court Monitoring), PuKAT (Pusat Kajian Anti Korupsi) dan lainnya telah menjadi
pilar kelima dalam penegakan Supremasi Hukum. Hal itu dikarenakan, secara
administratif mereka tidak terikat (indepedensi) dana dengan badan formal yang
memungkinkan mereka untuk bergerak secara sangat objektif. Ditambah lagi,
potensi kerugian keuangan negara (pasal 2 dan 3 UU Tipikor) dapat dikurangi
mengingat sumber dana yang bukan dari APBN.
Selain itu, idealisme para anggota yang konsisten
dalam penegakan supremasi hukum menjadikan Citizen
Officer (petugas masyarakat) ini sebagai pilar utama dalam mewujudkan
peradilan Indonesia yang lebih bermatabat. Sehingga, supremasi hukum yang
ideal, merdeka dan konsep Check and
Balances dapat terlaksana.
Era Penegak Hukum Responsif
Secara teoritis, ada dua macam penegak hukum:
penegak hukum atributif dan penegak hukum responsif. Penegak hukum atributif
adalah penegak hukum yang merupakan pejabat negara, dimana kewenangan mereka
didasari dengan peraturan perundang-undangan (atribusi). Sedangkan penegak
hukum responsif adalah pihak yang berada di luar dari wilayah penegak
atributif. Mereka melakukan tugasnya secara sukarela atas respon dari aparat
negara yang tidak becus. Penegak hukum responsif inilah yang kini banyak mengawasi
dan bahkan menindak perbuatan hukum tertentu.
Pasca reformasi,
gelombang penegak hukum responsif mengalami eskalasi yang signifikan. Selain
karena dilegalkan oleh konstitusi, adanya rasa kontribusi masyarakat,
keterbukaan media sosial, serta
kemudahan dalam mengumpulkan dana telah menjadikan pergerakan mereka
nyaris mengalahkan aparat negara/mungkin sudah mengalahkan.
MIREZA FITRIADI
FAKULTAS HUKUM UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar