search...

Rabu, 06 Maret 2013

Penyerapan Lambat, Tanggung Jawab Siapa?


Perseoalan penggunaan anggaran belanja negara setiap tahunnya tidak banyak berubah, yaitu lambatnya penyerapan. Hal itu terlihat dari maraknya proyek dan belanja dadakan pemerintah yang kerap terjadi tiap akhir tahun. Sehingga, bukanlah fenomena yang aneh jika akhir-akhir ini sering diadakan lomba, seminar, simposium, lokakarya, studi banding atau hal lain yang dibenarkan secara administratif namun minim manfaat.
Mengapa hal ini sering terjadi? Jawabannya tergantung pada subyek pemerintah tertentu. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Armida Alisjahbana mengatakan bahwa itu terjadi karena kurangnya koordinasi ditingkat internal dan eksternal, yaitu antara kuasa pengguna anggaran (KPA) dan panitia pengguna anggaran (PPA). Selain itu, buruknya perencanaan pada kementerian teknis, perubahan organisasi dan pergantian pejabat, ketakutan satuan kerja memulai proses tender, serta kurangnya pemahaman pengguna anggaran terhadap peraturan menyebabkan realisasi anggaran menjadi rendah.
Lantas, secara hukum, siapa yang seharusnya bertanggung jawab? Kesalahan praktek yang banyak terjadi adalah selalu diarahkan bahwa masalah ini adalah tanggung jawab pemerintah. Artinya, saat sebuah kementrian/lembaga eksekutif lain tidak maksimal dalam menyerap anggaran, maka pejabat di atasnyalah yang dipertanyakan. Secara administratif, mungkin hal itu dapat dibenarkan karena setiap instansi dapat menjalankan fungsi pengawasan melekat. Namun, kelemahannya adalahdari sudut pandang budgeting, pengwawasan itu dapat mengurangi alokasi anggaran untuk departemen itu sendiri.
Padahal dilihat dari sudut pandang hukum positif Indonesia, tanggung jawab konstitusionil terhadap pelaksanaan anggaran terletak  pada DPR, walaupun DPD juga diperintahkan untuk mengawasi pelaksanaan APBN, kewenangan menindak lanjuti tetap pada DPR. Hal itu dikarenakan, Konstitusi RI mengamanatkan pada DPR untuk menjalankan tiga fungsi: legislasi, budgeting, dan pengawasan (pasal 20A ayat 1). Terkait pelaksanaan anggaran, fungsi yang dipakai adalah pengawasan fiskal.  
Karena secara yuridis setiap anggota DPR, setiap saat dapat mengawasi pemerintah, maka dengan bargaining position yang kuat ini, DPR dapat melakukan rapat kerja dengan instansi yang bermasalah penyerapannya kapanpun, serta menelaah dan menindaklanjuti laporan BPK (22E ayat 3). Hasil pemeriksaan itu juga membantu DPR dalam rangka memberikan persetujuan atas PAN yang diajukan oleh Pemerintah.  Sehingga, masalah lambatnya penyerapan pada akhirnya dapat teratasi dengan kekuatan legislatif (legislative execution).
Walaupun keadaan lapangan saat ini  rapat DPR dengan pemerintah jarang sekali mengagendakan pembahasan tindak lanjut laporan hasil pemeriksaan BPK/penyerapan lambat, bukan berarti hal demikian menghambat kinerja DPR untuk menindak lanjuti permasalahan rutin akhir tahun ini. Karena bagaimanapun, keberadaan lembaga perwakilan sebagai pengawas pelaksanaan anggaran harus dijalankan secara kuat, jujur, dan profesional demi terbentuknya negara hukum yang hidup berdasar prinsip demokratis.

Mireza Fitriadi
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Intervensi NATO Terhadap Libya, Salahkah?


(KORAN SINDO, APRIL 2011)

Selama kurang lebih satu setengah bulan konflik internal Libya telah menelan 181 korban sipil, dan 52 korban militer dan kesemua korban itu adalah warga Libya sendiri(sumber: www.libya-alyoum.com). Konflik internal dengan tujuan menjatuhkan rezim Qhadafi ini, telah mengundang berbagai campur tangan dari  pihak asing,baik itu negara maupun organisasi internasional. Campur tangan asing ini telah mengundang berbagai kontroversi terutama isu akan penguasaan suplai migas Libya oleh negara barat.
Lantas, bagaimanakah campur tangan ini dipandang secara hukum internasional ? J.G.Starke dalam bukunya Introduction to International Law menjelaskan ada lima hal yang dapat dijadikan sumber hukum Internasional: kebiasaan internasional, traktat, keputusan-keputusan atau ketetapan organ lembaga internasional atau konferensi internasional,karya-karya hukum, serta doktrin dari ahli hukum.  
Pendapat Starke ini diaminkan oleh pasal 38 statuta ICJ (international Court of Justuce) yang memerintahkan Mahkamah untuk menerapkan “ajaran dari ahli hukum terkemuka dari berbagai negara, sebagai alat tambahan untuk menentukan kaidah-kaidah hukum.” Ada beberapa pendapat dari ahli hukum terkemuka yang daat dijadikan alasan.
Professor Richard Falk, dalam bukunya “The Legitimacy of Intervension by the United Nations” pernah mengatakan bahwa tata tertib dalam negeri tidak pernah bisa dipahami dalam pengertian yang ketat. Sudah menjadi hal yang lumrah untuk menerima kenyataan akan saling ketergantungan[negara barat pada libya] antar negara/kelompok dalam segala hal. Maka tidaklah mengherankan apabila suatu negara sering mempersoalkan  situasi yang terjadi di dalam wilayah negara lain. Pemahaman akan kedaulatan, sudah tidak seharusnya dipahami dalam pengertian yang ekslusif dan absolut.
Dari pernyataan Falk,  dapat diambil pemahaman kalau hal ini semakin menyadarkan masyarakat internasional bahwa  pemisahan antara mana yang merupakan persoalan domestik dan mana yang persoalan internasional bukanlah hal yang mudah untuk dipahami secara gamblang.
Dilihat secara hukum Internasional, sebenarnya pihak luar dapat melakukan intervensi dalam suatu negara, hal ini didasarkan pada dua doktrin teoritis. Pertama, teori kedaulatan relatif dari Richard Falk dan teori yang sering melandasi dalam berbagai kasus intervensi asing terhadap negara konflik di dunia, yaitu teori humanitarian intervension atau teori intervensi nilai-nilai kemanusiaan (John O’Brian). Dalam intervensi nilai-nilai kemanusiaan, adalah hal yang sah-sah saja suatu negara melakukan intervensi terhadap masalah negara lain jika memenuhi empat syarat: harus adanya ancaman terhadap HAM, intervensi hanya dilakukan untuk perlindungan atas HAM, tindakan bukan berdasar pada undangan dari pemerintahan setempat dan tidak dilakukan atas resolusi dewan keamanan.
Itulah dasar-dasar hukum internasional yang dapat dijadikan alasan intervensi NATO dalam  perang saudara di Libya. Melihat contoh sekarang yang terjadi pada negara Libya, hal krusial yang melandasi humanitarian intervension dalam kasus negara Libya adalah faktor saling ketergantungan negara-negara di dunia terutama negara Barat terhadap minyak Libya dan faktor korban sipil yang berjatuhan selama konflik internal Libya.
Penulis menyadari adanya kemungkinan hidden agenda dari negara-negara barat dalam menyelesaikan konflik kemanuasiaan di Libya, mengingat dari sisi energy security, negara-negara seperti Amerika, Italia, Spanyol, dan Prancis merupakan negara-negara dengan cadangan migas di perut bumi sangat minim. Mereka tentu membutuhkan semacam jaminan jangka panjang bahwa minyak Libya tidak akan ‘dibelokkan’ ke negara lain,misalnya ke China atau India yang juga sangat haus terhadap jaminan suplai jangka panjang. Saat ini China dan India sudah masuk ke Libya melalui BUMN migas mereka. Lantaran lonjakan kebutuhan energi yang sangat besar,terutama China,terjadi persaingan yang ketat dalam ‘merebut’ sumber-sumber energi dunia, terutama migas.Saat ini BUMN migas China sudah merambah melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di sekitar 70 negara di dunia, termasuk Libya. Menurut BP Statistics 2010, Libya memiliki kekayaan alam berupa cadangan terbukti (proven reserves) minyak mentah yang relatif sangat besar
Oleh karena itu butuh suatu kekuatan/badan hukum yang memiliki kewenangan kuat untuk mengawasi pergerakan tentara NATO dalam menjalani operasi. Kekuatan/badan hukum itu dapat berupa suatu komisi yang memiliki kewenangan kuat atau berupa aturan mengikat yang dapat menjamin proses pedamaian berjalan tanpa tekanan. Hal ini mengingat di dalam NATO Charter tidak ada badan khusus yang bertugas untuk mengawasi tentara NATO dalam bertugas,sehingga berkemungkinan terjadinya penyimpangan oleh tentara NATO dalam bertindak (membunuh warga sipil misalnya).
 Selain itu tidak adanya aturan yang check and balances antara UN Charter dan NATO Charter dalam penugasan tentara. Celah hukum inilah yang perlu diperbaiki untuk menjamin proses humanitarian intervension baik dalam kasus negara Libya maupun dalam kasus internasional lainnya. Celah hukum itu dapat diperbaiki dalam sidang Majelis Umum PBB, Dewan Keamanan, dan NATO sendiri.
Untuk dapat mengatasi celah hukum ini, dibutuhkan kampanye dari berbagai negara agar masalah ini dapat diusulkan dalam sidang umum PBB. Negara-negara itu terutama negara-negara yang concern terhadap gerakan non blok agar tidak ada kesan memihak, keberpihakan negara non blok adalah keberpihakan terhadap kebenaran, bukan golongan tertentu. Oleh karena itu negara-negara seperti INDONESIA adalah negara yang diharapkan untuk menjadi peoneer dalam mengkampanyekan check and balances antara NATO charter dan UN charter.
Jika celah hukum ini dapat diatasi, maka kita tidak akan mendengar lagi isu-isu internasional tentang penyalahgunaan wewenang dalam melaksanakan humanitarian intervension, seperti yang pernah terjadi di Irak dan Afghanistan pada tahun-tahun sebelumnya.
MIREZA FITRIADI
MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UGM

IDEALITAS SUPREMASI NEGARA HUKUM



Setengah abad lebih enam belas tahun sudah republik ini mengaklaim diri sebagai negara merdeka. Namun, berbagai pandangan menyatakan bahwa kita belum pantas untuk merdeka sepenuhnya.

Pandangan tersebut dapat dibenarkan, hal itu didasarkan pada dua perspektif kemerdekaan, kemerdekaan internal dan kemerdekaan eksternal. Kemerdekaan eksternal berarti suatu negara bebas dari tekanan/pengaruh dari negara luar. Tekanan itu dapat bersifat militer/agresi maupun non-militer(seperti tekanan politik internasional, ekonomi, dll). Sedangkan kemerdekaan internal adalah terjaminnya hukum dan keadilan bagi seluruh rakyat negara. Sehingga, berdasarkan dua sudut pandang di atas, untuk keadaan sekarang, dapat dikatakan negara kita baru merdeka secara administratif.

Salah seorang ahli ilmu hukum Indonesia, Prof.Charles Himawan mengatakan bahwa kemerdekaan dapat terwujud jika hukum dan keadilan pada suatu negara terjamin pelaksanaannya. Beranjak dari situlah, kemerdekaan internal merupakan hal krusial untuk menjadi merdeka sepenuhnya. Dalam prakteknya, kemerdekaan internal hanya dapat terlaksana jika suatu negara memiliki penegakan supremasi hukum yang absolut, yaitu memiliki sistem dan pelaku lingkup peradilan yang bersih, profesional, idealis, dan jauh dari sifat koruptif.

Hal ini dikarenakan oleh maksud supremasi hukum itu sendiri. Dalam Black’s Law Dictionary, supremasi hukum (Supremacy of law) adalah setiap subjek hukum memiliki kesamaan di hadapan hukum (equality before the law).

Dalam logika hukum, merosotnya wibawa hukum masih dapat ditolerir apabila hal ini terjadi di luar arena badan peradilan. Misalnya, kesalahan yang dilakukan oleh pejabat publik dalam hal tender sehingga memunculkan tindak pidana korupsi. Pelecehan hukum yang terjadi di luar badan peradilan masih dapat dimengerti, karena pada akhirnya pelecehan itu akan diperbaiki oleh badan peradilan.

Akan tetapi, apabila pelecehan hukum itu terjadi di dalam badan peradilan sendiri, maka sukarlah bagi praktisi pembangunan untuk mengembalikan wibawa hukum. Kesulitan itu semakin bertambah besar apabila pelecehan itu terjadi di suatu negara hukum. Hal ini dikarenakan, dalam konsep negara hukum, Hukum adalah Raja, sehingga garda utama dalam penegakan hukum adalah yudikatif (petugas peradilan: kepolisian, jaksa, hakim, bahkan KPK). Bahkan seorang presiden sekalipun, tidak dapat untuk berbuat seenaknya karena geraknya dikawal oleh undang-undang dasar (hukum).

Pelecehan di lingkup peradilan inilah, yang sampai hari ini menyebabkan negara kita belum mampu merdeka sepenuhnya. Tentu masih menjadi newspeg, saat beberapa Pejabat KPK dituding terlibat dalam kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Nazarudin cs. Atau hal lain saat seorang jaksa Cirus Sinaga yang seharusnya mengawal kasus Gayus, malah ikutan “bermain” didalamnya.Tidak hanya ruang lingkup KPK dan Kejaksaan saja, institusi POLRI dan Kehakiman-pun turut menjadi korban. Saat rekening beberapa pejabat POLRI yang besarnya jauh di atas normal rekening pejabat POLRI lainnya, menambah stigma negatif masyarakat terhadap penegak hukum. Apalagi, baru-baru ini saat salah seorang Hakim, yang seharusnya menjadi tempat bagi publik untuk mendapat keadilan (Syarifudin) di daerah Jakarta ditangkap karena diduga melakukan tindak pidana korupsi.

Akan tetapi, bukan berarti permasalahan sekarang tidak ada solusi. Dalam Hukum Administrasi Negara, ada istilah Goverment Officer (petugas pemerintahan), mereka adalah semua orang yang bekerja untuk pemerintahan formal (jaksa, hakim, pegawai KPK, anggota POLRI, anggota komisi independen lain, dll) dimana sumber dana mereka berasal dari APBN. Termasuk ke-empat catur wangsa didalamnya. Hal inilah yang dalam hukum administrasi, dapat menimbulkan depedensi lembaga (ketergantungan), karena sumber dana mereka berasal dari corong yang sama. Sehingga, kinerja badan peradilan tidak maksimal.

Dalam negara demokrasi modern, ada istilah Citizen Officer (pejabat masyarakat) yang menjadi unsur pengawas dan pembantu dalam penegakan supremasi hukum (Lembaga Swadaya Masyarakat). Ambil contoh saat Dewan Etik ICM (Indonesian Court Monitoring) mengambil sikap tegas terhadap “Hakim S”, tersangka kasus suap di sebuah Pengadilan Negeri di Jakarta agar ia segera dicopot dari jabatannya. Atau contoh lain saat ICW (Indonesian Corruption Watch) memperjuangkan/mengawal agar “rekening Gendut POLRI” segera di sidik di KPK.

Tidak dapat dipungkiri, keberadaan ICW (Indonesian Corruption Watch), ICM (Indonesian Court Monitoring), PuKAT (Pusat Kajian Anti Korupsi) dan Citizen Officer lainnya telah menjadi pilar kelima dalam penegakan Supremasi Hukum di Indonesia. Hal itu dikarenakan, secara administratif mereka tidak terikat (indepedensi) dana dengan badan formal yang memungkinkan mereka untuk bergerak secara sangat objektif. Ditambah lagi, potensi kerugian keuangan negara (pasal 2 dan 3 UU Tipikor) dapat dikurangi mengingat sumber dana yang bukan dari APBN.

Selain itu, idealisme para anggota yang konsisten dalam penegakan supremasi hukum menjadikan Citizen Officer (petugas masyarakat) ini sebagai pilar utama dalam mewujudkan peradilan Indonesia yang lebih bermatabat. Sehingga, supremasi hukum yang ideal, merdeka dan konsep Check and Balances akan terlaksana.

Due process of law

MIREZA FITRIADI
MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA

Citizen Officer: Si Penegak Hukum Responsif





Hukum yang merdeka
                Setengah abad lebih enam belas tahun sudah republik ini mengaklaim diri sebagai negara merdeka. Namun, berbagai pandangan menyatakan bahwa kita belum pantas untuk merdeka sepenuhnya.
Pandangan tersebut dapat dibenarkan, hal itu didasarkan pada dua perspektif kemerdekaan, kemerdekaan internal dan kemerdekaan eksternal. Kemerdekaan eksternal berarti suatu negara bebas dari tekanan/pengaruh dari negara luar. Tekanan itu dapat bersifat militer/agresi maupun non-militer(seperti tekanan politik internasional, ekonomi, dll). Sedangkan kemerdekaan internal adalah terjaminnya hukum dan keadilan bagi seluruh rakyat negara. Sehingga, berdasarkan dua sudut pandang di atas, untuk keadaan sekarang, dapat dikatakan negara kita baru merdeka secara administratif.
Salah seorang ahli ilmu hukum Indonesia, Prof.Charles Himawan mengatakan bahwa kemerdekaan dapat terwujud jika hukum dan keadilan pada suatu negara terjamin pelaksanaannya. Beranjak dari situlah, kemerdekaan internal merupakan hal krusial untuk menjadi merdeka sepenuhnya. Dalam prakteknya, kemerdekaan internal hanya dapat terlaksana jika suatu negara memiliki penegakan supremasi hukum yang absolut, yaitu memiliki sistem dan pelaku lingkup peradilan yang bersih, profesional, idealis, dan jauh dari sifat koruptif.
Hal ini dikarenakan oleh maksud supremasi hukum itu sendiri. Dalam Black’s Law Dictionary, supremasi hukum (Supremacy of law) adalah setiap subjek hukum memiliki kesamaan di hadapan hukum (equality before the law).
Dalam logika hukum, merosotnya wibawa hukum masih dapat ditolerir apabila hal ini terjadi di luar arena badan peradilan. Misalnya, kesalahan yang dilakukan oleh pejabat publik dalam hal tender sehingga memunculkan tindak pidana korupsi. Pelecehan hukum yang terjadi di luar badan peradilan masih dapat dimengerti, karena pada akhirnya pelecehan itu akan diperbaiki oleh badan peradilan.
Akan tetapi, apabila pelecehan hukum itu terjadi di dalam badan peradilan sendiri, maka sukarlah bagi praktisi pembangunan untuk mengembalikan wibawa hukum. Kesulitan itu semakin bertambah besar apabila pelecehan itu terjadi di suatu negara hukum. Hal ini dikarenakan, dalam konsep negara hukum, Hukum adalah Raja, sehingga garda utama dalam penegakan hukum adalah yudikatif (petugas peradilan: kepolisian, jaksa, hakim, bahkan KPK). Bahkan seorang presiden sekalipun, tidak dapat untuk berbuat seenaknya karena geraknya dikawal oleh undang-undang dasar (hukum).
Pelecehan di lingkup peradilan inilah, yang sampai hari ini menyebabkan negara kita belum mampu merdeka sepenuhnya. Tentu masih menjadi newspeg, saat beberapa Pejabat KPK dituding terlibat dalam kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Nazarudin cs. Atau hal lain saat seorang jaksa Cirus Sinaga yang seharusnya mengawal kasus Gayus, malah ikutan “bermain” didalamnya.Tidak hanya ruang lingkup KPK dan Kejaksaan saja, institusi POLRI dan Kehakiman-pun turut menjadi korban. Saat rekening beberapa pejabat POLRI yang besarnya jauh di atas normal rekening pejabat POLRI lainnya, menambah stigma negatif masyarakat terhadap penegak hukum. Apalagi, baru-baru ini saat salah seorang Hakim, yang seharusnya menjadi tempat bagi publik untuk mendapat keadilan (Syarifudin) di daerah Jakarta ditangkap karena diduga melakukan tindak pidana korupsi.

Goverment dan Citizen Officer

Akan tetapi, bukan berarti permasalahan sekarang tidak ada solusi. Dalam Hukum Administrasi Negara, ada istilah Goverment Officer (petugas pemerintahan), mereka adalah semua orang yang bekerja untuk pemerintahan formal (jaksa, hakim, pegawai KPK, anggota POLRI, anggota komisi independen lain, dll) dimana sumber dana mereka berasal dari APBN. Termasuk ke-empat catur wangsa didalamnya. Hal inilah yang dalam hukum administrasi, dapat menimbulkan depedensi lembaga (ketergantungan), karena sumber dana mereka berasal dari corong yang sama. Sehingga, kinerja badan peradilan tidak maksimal.
Dalam negara demokrasi modern, ada istilah Citizen Officer (pejabat masyarakat) yang menjadi unsur pengawas dan pembantu dalam penegakan supremasi hukum (Lembaga Swadaya Masyarakat). Ambil contoh saat Dewan Etik ICM (Indonesian Court Monitoring) mengambil sikap tegas terhadap “Hakim S”, tersangka kasus suap di sebuah Pengadilan Negeri di Jakarta agar ia segera dicopot dari jabatannya. Atau contoh lain saat ICW (Indonesian Corruption Watch) memperjuangkan/mengawal agar “rekening Gendut POLRI” segera di sidik di KPK.
Keberadaan organisasi masyarakat ini menimbulkan pemikiran baru dalam dunia hukum modern. Bahkan beberapa ahli mengatakan bahwa keberadaan Citizen Officer seperti ICW (Indonesian Corruption Watch), ICM (Indonesian Court Monitoring), PuKAT (Pusat Kajian Anti Korupsi) dan lainnya telah menjadi pilar kelima dalam penegakan Supremasi Hukum. Hal itu dikarenakan, secara administratif mereka tidak terikat (indepedensi) dana dengan badan formal yang memungkinkan mereka untuk bergerak secara sangat objektif. Ditambah lagi, potensi kerugian keuangan negara (pasal 2 dan 3 UU Tipikor) dapat dikurangi mengingat sumber dana yang bukan dari APBN.
Selain itu, idealisme para anggota yang konsisten dalam penegakan supremasi hukum menjadikan Citizen Officer (petugas masyarakat) ini sebagai pilar utama dalam mewujudkan peradilan Indonesia yang lebih bermatabat. Sehingga, supremasi hukum yang ideal, merdeka dan konsep Check and Balances dapat terlaksana.

 Era Penegak Hukum Responsif
               
                Secara teoritis, ada dua macam penegak hukum: penegak hukum atributif dan penegak hukum responsif. Penegak hukum atributif adalah penegak hukum yang merupakan pejabat negara, dimana kewenangan mereka didasari dengan peraturan perundang-undangan (atribusi). Sedangkan penegak hukum responsif adalah pihak yang berada di luar dari wilayah penegak atributif. Mereka melakukan tugasnya secara sukarela atas respon dari aparat negara yang tidak becus. Penegak hukum responsif inilah yang kini banyak mengawasi dan bahkan menindak perbuatan hukum tertentu.
                Pasca reformasi, gelombang penegak hukum responsif mengalami eskalasi yang signifikan. Selain karena dilegalkan oleh konstitusi, adanya rasa kontribusi masyarakat, keterbukaan media sosial, serta  kemudahan dalam mengumpulkan dana telah menjadikan pergerakan mereka nyaris mengalahkan aparat negara/mungkin sudah mengalahkan.
               


MIREZA FITRIADI
FAKULTAS HUKUM UGM

Jangan Tunggu Jakarta Tenggelam

“Jadikanlah Palangkaraya sebagai modal dan model Republik Indonesia, Soekarno, Founding Father Republik Indonesia”
Kejadian banjir yang menimpa daerah Jakarta, bukanlah hal yang dapat dikatakan fenomenal. Bahkan, banjir di Jakarta tidak dapat dikatakan sebagai bencana atau musibah. Ia hanyalah ekses dan risiko yang selalu terprediksi benar terjadi setiap tahunnya. Hal tersebut tentu berbeda dengan makna dari bencana.
Bencana dapat dimaknai dengan kejadian buruk yang datangnya tidak bisa diprediksi atau dijamin kedatangannya, hanya tuhan yang tahu. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sekalipun, tidak dapat memprediksi secara benar terjadinya suatu bencana, apalagi menjamin terjadinya. Seperti musibah gempa tsunami di Aceh, gempa Padang dan merapi Yogyakarta tidak ada seorangpun ahli yang bisa menjamin bencana tersebut terjadi. Berbeda dengan Jakarta, tanpa perhitungan ilmiah sekalipun, hanya bermodal perasaan hati, masyarakat dapat menilai Jakarta dijamin banjir setiap tahunnya. Penyebabnya sederhana namun sangat mendasar, yaitu kekeliruan sistem pembangunan pada Jakarta. Dikatakan keliru, karena harusnya eksistensi ibukota negara hanyalah terfokus pada dua hal saja, pusat pemerintahan & keuangan. Namun, entah salah siapa yang memaksakan Jakartasentris, sehingga semua terpusat di Jakarta, mulai dari industri, hiburan, bahkan sampah dengan jumlah 8609 ton. Angka yang sangat tidak layak dan memalukan bagi sebuah Ibukota Negara.
            Maka obat dari masalah di atas adalah pembangunan yang terintegrasi, hal itu sudah dicanangkan sejak lama. Terintegrasi artinya setiap kota atau daerah memiliki fungsi yang saling terspesialisasi satu sama lainnya, sehingga mengharuskan daerah satu dan yang lainnya untuk saling berhubungan, bukan terpusat sehingga daerah pinggiran terabaikan. Namun, egoisme penguasa menyebabkan pelaksanaan tertunda, bahkan sampai 67 tahun Indonesia Merdeka.
            Pemindahan Ibukota Negara adalah ide utama dari pelaksanaannya. Saya sepakat dengan ide Soekarno untuk memindahkan ibukota negara ke Palangkaraya. Jangankan Soekarno, bangsa penjajahpun sejak lama telah berpikir sama. Sejak zaman kolonial Belanda, pemerintah pada saat itu sudah memprediksi bahwa Batavia tidak ideal sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian.
Pilihan kota Palangkaraya dapat dikatakan ideal, karena selain mengubah konsep Jawasentris. Secara filosofis, Jakarta sebagai ibukota adalah peninggalan zaman kolonial, bukan ibukota hasil konsep orisinal anak bangsa. Selain itu, Kalimantan adalah pulau terbesar di Indonesia dan letaknya di tengah-tengah gugus pulau Indonesia. Menjadikannya sebagai model dan modal dapat meningkat kesejahteraan secara makro & mikro. Sungai Kahayan yang ada padanya dapat memadukan konsep transportasi air dan jalan raya, seperti di negara-negara maju lainnya. Keindahan Kahayan secantik sungai-sungai di Eropa. Di mana warga dapat bersantai dan menikmati keindahan kota yang dialiri sungai, bukan sungai yang hitam dan dialiri jutaan sampah, seperti Jakarta. Kahayan strategis, karena pembangunan dapat ditekan di sekitarnya, sehingga ia terlihat indah. Berbeda dengan Jakarta yang harus dikosongkan dahulu lahan sekitar sungainya yang nantinya menimbulkan konflik sengketa lahan pastinya.
Indonesia pernah bekerja sama dengan Uni Soviet dalam hal ini. Para insinyur dari Rusia pun didatangkan untuk membangun jalan raya di lahan gambut. Pembangunan ini berjalan dengan baik. Namun, sejak Soekarno lengser. Mulailah bencana yang dapat dijamin ini. Soeharto tak ingin melanjutkan rencana pemindahan ibukota ke Kalimantan. Jawa kembali jadi sentral semua segi kehidupan.
Dampaknya Jakarta jadi semrawut, harapan untuk menciptakan ibukota yang megah dan berwibawa hilang bersamaan dengan diktatoristik Soeharto. Memindahkan Ibukota  memang bukanlah perkara mudah. Perlu upaya dan semangat bersama dalam merealisasikannya.
Ada banyak contoh komparasi yang dapat dijadikan acuan. Kita dapat Belajar dari Malaysia yang juga pernah memindahkan pusat pemerintahannya ke Putrajaya, karena Kuala Lumpur dianggap sudah tak lagi ideal. Atau Turki yang memindahkan ibu kota dari Istambul ke Ankara. Demikian juga Brasil dari Rio de Janeiro ke Brasilia. Di Asia Tenggara ada Burma yang memindahkan ibu kota dari Yangoon ke Naypyidaw
Oleh karena itu, kepada seluruh instrumen pemerintahan bangsa, pemindahan ibukota Negara ini adalah cara mencapai kesejahteraan makro & mikro. Ia hanyalah pelaksanaan yang tertunda. Tidak perlu untuk menunggu Jakarta tenggelam dan collapse, barulah kita berbuat demikian.

MIREZA FITRIADI
MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UGM

Perlunya Merevisi UU Narkotika

“Hukum akan selalu tertatih di belakang zaman”. Jauh sebelum Indonesia mendeklarasikan dirinya sebagai Negara Hukum, doktrin tersebut telah memastikan  bahwa kebutuhan sosial kehidupan manusia akan selalu berpacu dengan norma. Sering kali norma hukumlah yang ketinggalan. Termasuk kasus yang menjadi trending topic saat ini, Rafi Ahmad.
Memang nama Rafi Ahmad, Wanda Hamidah dan sederet nama lainnya menjadi top search pada situs pencari google. Namun, itu hanyalah isu sesaat. Ada dampak besar terhadap upaya pemberantasan barang haram tersebut sampai akhirnya BNN menyatakan jenis Narkotika yang dimiliki oleh Rafi adalah jenis baru, yaitu turunan dari narkotika golongan satu nomor 35, Katinona. Nama turunan dari katinona tersebut adalah metilon (M1), yang tidak terdaftar dalam UU Narkotika. Implikasinya, isu/usaha tentang merubah UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotikapun, juga menjadi hal utama dari sisi hukum. Komisi III DPR, BNN, POLRI, dan LSM Anti Narkoba haruslah menjadi pihak yang dominan dalam perkara ini.

Dua Faktor Utama
Setidaknya, Ada dua faktor utama yang menjadi alasan perlunya merevisi UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pertama, penegakan asas legalitas dalam hukum pidana. Seseorang tidak dapat dihukum sebelum ada yang mengaturnya. Pemidanaan pada hakikatnya adalah perbuatan negara untuk menghapus hak & kemerdekaan seseorang. Itulah alasan mengapa setiap perbuatan pidana haruslah diatur dalam peraturan tertentu. Tujuannya agar negara tidak semena-mena dalam menghakimi kebebasan seseorang. Asas ini menjadi pokok dalam pelaksanaan hukum pidana di Indonesia. Sehingga melihat keadaan sekarang, secara hukum perbuatan memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan M1 bukanlah suatu kejahatan di Indonesia. Padahal secara medis, katinona memiliki dampak yang sama atau bahkan lebih parah dari amfetamin.
Lebih buruk, penjualan katinona menjadi momok yang sangat menguntungkan bagi transaksi narkotika internasional, karena dapat beralasan bahwa M1 adalah legal di Indonesia. Sehingga mereka tidak bisa ditangkap. Sangat berlawanan dengan negara tetangga Malaysia, Singapura dan Thailand yang melarang katinona dan turunannya untuk dijual karena masuk dalam kategori narkotika. Hal demikian tentu sangat tidak diinginkan oleh setiap penggiat anti narkoba. Karena bisa berdampak sangat buruk pada moral bangsa. Perlunya revisi UU agar zat berbahaya lain yang belum terdaftar juga dimasukkan, sehingga penegakan hukum lebih maksimal. Karena masih ada belasan atau mungkin puluhan zat berbahaya lain yang perlu didaftarkan.
Kedua, dalam UU No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan RI, untuk merubah suatu Peraturan setidaknya haruslah memenuhi beberapa kriteria. Adanya pemenuhan kebutuhan hukum masyarakat, tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi, Undang-undang baru, serta Perjanjian Internasional merupakan kriteria yang harus terpenuhi untuk merevisi suatu UU. Kasus Rafi Ahmad hanyalah permulaan kecil dari luasnya jaringan narkoba. Revisi UU Narkotika, dapat dikategorikan pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Masih banyak sindikat Narkoba yang bebas bertransaksi karena lepas dari jerat hukum yang berlaku. Upaya pencegahan tidaklah cukup, ia haruslah dibarengi dengan instrumen hukum yang kuat demi terwujudnya Indonesia Bebas Narkoba 2015. Mengutip slogan salah seorang punggawa hukum Indonesia, “Keep Fight for The Better Indonesia”

MIREZA FITRIADI
MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UGM

Suara mahasiswa,Solusi perwisataan Indonesia

            Indonesia, negara kaya dan strategis dengan lokasi di antara dua benua(Asia dan Australia),dua samudera(pasifik dan hindia), iklim tropis khatulistiwa, serta kekayaan budaya  yang menjadikan negara ini kaya akan potensi wisata (alam dan non-alam). Apabila dimaksimalkan, potensi itu dapat mendatangkan devisa yang fantastis jumlahnya, sehingga dapat membantu masalah finansial negara ini. Sayang, banyak oknum dalam pemerintah kita yang terlalu sibuk dengan memperkaya diri pribadi dan terlalu banyak menguras energi akan polemik politik demi keuntungan kelompok tertentu. Selain itu, banyaknya masalah lain yang melanda negeri ini menjadikan potensi wisata ini sering terlupakan.
Efek dari terlupakannya potensi itu dapat kita lihat dari Indeks Daya Saing Pariwisata Indonesia yang dikeluarkan oleh World Economic Forum(WEF) tahun 2009 lalu. Hasil riset menunjukkan Pada tahun 2008 Indonesia menempati posisi 80 dari 130 negara, namun tahun 2009 turun ke posisi 81 dari 133 negara yang diteliti. Peringkat 10 besar didominasi oleh negara barat, yaitu Swiss, Swedia, Kanada, Prancis, Jerman dan Austria. Kita kalah dari Singapura, Malaisya, Brunei Darussalam, dan Thailand yang potensi wisatanya jauh di bawah Indonesia. Padahal jika kita berdiri sebagai orang yang paham akan potensi wisata negara ini, tentu akan merasakan bahwa data yang dikeluarkan oleh WEF adalah kebohongan publik, mengingat bagaimana mungkin negara dengan potensi wisata yang incridible ini bisa mendapat peringkat jongkok.  
            Dari paparan singkat diatas, penulis melihat permasalahan mendasar dalam memajukan pariwisata Indonesia adalah masalah pengelolaan. Pengelolaan ini menghasilkan dua permasalahan pokok yang menjadikan perwisataan Indonesia sulit untuk berkembang. Pertama, kurangnya perhatian pemerintah dalam mengelola pariwisata. Selain karena masalah politik, dana yang dikucurkan untuk pengembangan pariwisata dinilai masih kurang, terbukti dari data pokok APBN tahun 2010, dana untuk pariwisata dan budaya berkisar 1,8 trilyun. Angka tersebut dinilai relatif kecil, karena dalam rinciannya tidak ada pendanaan untuk litbang. Padahal litbang adalah komponen penting dalam pengembangan pariwisata karena dibutuhkan untuk pendataan potensi daerah yang layak dijadikan tempat wisata. Penulis menyadari bahwa dana APBN saja tidak cukup dalam pengembangan pariwisata, sehingga dibutuhkan sokongan dana dari luar. Maka, sudah menjadi kewajiban Kementrian Pariwisata dan Kebudayaan bekerjasama dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM) untuk mencarikan investor (lokal maupun asing) demi mengembangkan pariwisata.
 Seperti contoh, dataran tinggi Dieng. Menurut kalkulasi yang pernah dimuat di Harian Suara Merdeka (6/9/10), kawasan wisata Dieng akan menjadi hight class jika disokong dengan dana minimal 100 milyar rupiah,jika ini terjadi maka kawasan ini dapat mengalahkan perwisataan Singapura. Bayangkan, satu daerah Dieng saja berpotensi untuk mengalahkan satu negara, apalagi kalau seluruh potensi wisata negara ini termanfaatkan dengan baik. Dari contoh daerah Dieng, angka 100 milyar hanyalah satu persepuluh dari anggaran di APBN, tentu akan menjadi hal sulit jika seluruh potensi perwisataan dibebankan pada APBN saja, inilah yang menjadi alasan kuat investor sangat diperlukan.
Kedua, belum adanya Branding yang “menggigit” dalam pemasaran pariwisata Indonesia, kalaupun pernah memasang brand, tidak adanya konsistensi dan kurangnya booming dalam menyuarakan menjadi masalah utama.
Berdasarkan penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Profesor Arysio Santos dos Nunes, ahli fisika nuklir dan Geolog asal Brazil, setelah 30 tahun meneliti legenda Atlantis menemukan bukti kuat jika Indonesia adalah Atlantis yang hilang. Wilayah Indonesia memenuhi seluruh syarat Plato tentang Atlantis dibanding wilayah lainnya di dunia. Bahkan, penelitian Santos kini telah banyak didukung oleh peneliti dari Amerika, yang awalnya menolak hasil temuannya.
Harusnya hasil penelitian ini mendapat apresiasi besar dalam menciptakan branding yang baik untuk pariwisata Indonesia. Jika Malaisya memiliki branding:“Malaisya, trully Asia.”Dari temuan ini, penulis menawarkan branding yang diharapkan menjadi ikon dalam pariwisata Indonesia,penulis menawarkan kalimat:” Indonesia, The Real Atlantis”  untuk dijadikan branding pariwisata Indonesia. Penulis menilai, sekarang yang ada dalam setiap iklan, gambar-gambar yang beredar tentang pariwisara hanya kalimat “Visit Indonesia” bagaimana mungkin kita menarik wisatawan hanya dengan kalimat Visit Indonesia yang tidak menjual tersebut?. Inilah yang menjadikan branding dengan kalimat menjual sangat dibutuhkan. Butuh publikasi yang masif dalam penjualan sebuah brand. Mulai dari iklan, ikon-ikon publik, acara-acara liveshow, bahkan perfilman Indonesia juga harus bergerak untuk hal ini.
Penulis sangat mengharapkan pemerintah untuk mengambil bagian akan hal ini, jangan sampai kita jauh dari kesan kreatif dan tidak tanggap pada temuan yang luar biasa ini. Karena, temuan Profesor Santos amat sangat bisa dieksploitir oleh pemerintah Indonesia dalam memperbanyak aliran devisa ke negara kita. Bayangkan saja, para ahli dari Amerika saja banyak mendukung hasil penemuannya, bagaimana kita yang jadi objek penemuan? Harusnya kita lebih masif dalam hal ini.
Dua hal utama tadilah yang dapat menjadi solusi perwisataan Indonesia, semoga pemerintah cepat tanggap dalam menyikapi temuan luar biasa Prof. Santos dan segera mempublikasikan Branding perwisataan Indonesia yang lebih “menggigit.” Semoga.

Mireza Fitriadi
Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada

Harus bijak menjalankan fase tahun politik




(Koran Sindo 1 Maret 2013)
Memang dapat dibenarkan secara sosiologis, bahwa seseorang dapat menjalankan fungsinya dalam berbagai konsentrasi. Hal itu dapat dianggap wajar karena keberadaan seseorang dapat dibutuhkan oleh beberapa lingkungan sosialnya. Apalagi kalau peranan seseorang itu merupakan peran tertinggi dalam republik ini.
Jika menggunakan pendekatan sosiologis di atas, maka tindakan seorang kepala negara yang sekaligus menjadi pimpinan dalam suatu partai politik dapat dibenarkan. Namun, belum tentu hal tersebut menjadi benar ketika terjadi benturan dengan status hukum seorang presiden.
Beberapa waktu lalu, Presiden SBY langsung mengambil alih kepemimpinan Partai Demokrat dari Ketua DPP-nya Anas Urbaningrum. Tindakan tersebut dilakukan oleh SBY karena adanya bocoran soal Surat Perintah Penyidikan terhadap Anas, dan juga karena krisis yang dialami oleh PD terhadap pemilu 2014.
Tindakan inilah yang mengharuskan seorang presiden berbuat bijak. Bijak dalam artian seimbang menjalankan fungsinya sebagai kepala negara dan anggota partai.
Sebagai negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial, presiden bertindak sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Kepala negara artinya dia menjalankan fungsi perwakilan negara RI di luar. Sedangkan kepala pemerintahan, berdasarkan makna dari pasal 4 ayat 1 UUD 1945, presidenlah yang bertugas untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Tugas pokok presiden yang tercantum dalam preambule konstitusi tersebut mengisyaratkan bahwa fokus pekerjaan seorang presiden adalah mendahulukan kepentingan umum dibandingkan kepentingan kelompoknya.
Seorang kepala pemerintahan berbeda artinya dengan kepala pemerintah. Kepala pemerintahan artinya dia bertugas mengkoordinasikan ketiga pilar kenegaraan: eksekutif, legislatif, dan yudikatif.  Sedangkan kepala pemerintah hanyalah  hanyalah ada eksekutif saja. Dari gambaran tugas yuridis seorang presiden tersebut, sangatlah jelas bahwa tidak ada unsur parpol di dalamnya. Memiliki jabatan ganda yang berbenturan antara tugas negara dengan kepentingan kelompok tertentu adalah suatu kekeliruan.
Ditambah lagi, seorang presiden dipilih dalam suatu mekanisme pemilihan umum, dimana suara yang mendukungnya tidak hanya dari kader partai pengusungnya saja, melainkan seluruh elemen rakyat ikut serta di dalamnya. Suara pemilih SBY dalam pemilu 2009 berjumlah 73,9 juta suara atau 60,8 % dari total pemilih. Tentunya itu bukanlah jumlah yang sedikit untuk dapat dipertangung jawabkan apabila seorang presiden malah ternyata menduduki jabatan ganda pada suatu parpol tertentu.
Di sinilah perlu perbuatan yang bijak dari seorang presiden. Seimbang menjalankan fungsinya sebagai presiden artinya menegakkan norma dan kebutuhan di dalam wadah yang tepat. Boleh saja seorang presiden Melayani partai konstituennya, tetapi ia harus bijak dalam meletakkan posisinya sebagai presiden dan anggota partai.
Memberikan contoh yang ideal akan menjadikan presiden reliable dalam menjalani tahun politik 2013. Indonesia adalah negara hukum, begitu bunyi konstitusi kita. Maka seharusnya presiden haruslah memberi contoh yang ideal untuk menegakkan hukum, demi tercapainya Indonesia yang demokratis.

MIREZA FITRIADI
MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UGM