Jangan Tunggu Jakarta Tenggelam
“Jadikanlah Palangkaraya sebagai modal dan model Republik
Indonesia, Soekarno, Founding Father Republik Indonesia”
Kejadian banjir
yang menimpa daerah Jakarta, bukanlah hal yang dapat dikatakan fenomenal.
Bahkan, banjir di Jakarta tidak dapat dikatakan sebagai bencana atau musibah.
Ia hanyalah ekses dan risiko yang selalu terprediksi benar terjadi setiap
tahunnya. Hal tersebut tentu berbeda dengan makna dari bencana.
Bencana
dapat dimaknai dengan kejadian buruk yang datangnya tidak bisa diprediksi atau
dijamin kedatangannya, hanya tuhan yang tahu. Kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi sekalipun, tidak dapat memprediksi secara benar terjadinya suatu
bencana, apalagi menjamin terjadinya. Seperti musibah gempa tsunami di Aceh,
gempa Padang dan merapi Yogyakarta tidak ada seorangpun ahli yang bisa menjamin
bencana tersebut terjadi. Berbeda dengan Jakarta, tanpa perhitungan ilmiah
sekalipun, hanya bermodal perasaan hati, masyarakat dapat menilai Jakarta
dijamin banjir setiap tahunnya. Penyebabnya sederhana namun sangat mendasar,
yaitu kekeliruan sistem pembangunan pada Jakarta. Dikatakan keliru, karena
harusnya eksistensi ibukota negara hanyalah terfokus pada dua hal saja, pusat
pemerintahan & keuangan. Namun, entah salah siapa yang memaksakan
Jakartasentris, sehingga semua terpusat di Jakarta, mulai dari industri,
hiburan, bahkan sampah dengan jumlah 8609 ton. Angka yang sangat tidak layak
dan memalukan bagi sebuah Ibukota Negara.
Maka
obat dari masalah di atas adalah pembangunan yang terintegrasi, hal itu sudah
dicanangkan sejak lama. Terintegrasi artinya setiap kota atau daerah memiliki
fungsi yang saling terspesialisasi satu sama lainnya, sehingga mengharuskan
daerah satu dan yang lainnya untuk saling berhubungan, bukan terpusat sehingga
daerah pinggiran terabaikan. Namun, egoisme penguasa menyebabkan pelaksanaan
tertunda, bahkan sampai 67 tahun Indonesia Merdeka.
Pemindahan
Ibukota Negara adalah ide utama dari pelaksanaannya. Saya sepakat dengan ide
Soekarno untuk memindahkan ibukota negara ke Palangkaraya. Jangankan Soekarno,
bangsa penjajahpun sejak lama telah berpikir sama. Sejak zaman kolonial
Belanda, pemerintah pada saat itu sudah memprediksi bahwa Batavia tidak ideal
sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian.
Pilihan
kota Palangkaraya dapat dikatakan ideal, karena selain mengubah konsep
Jawasentris. Secara filosofis, Jakarta sebagai ibukota adalah peninggalan zaman
kolonial, bukan ibukota hasil konsep orisinal anak bangsa. Selain itu,
Kalimantan adalah pulau terbesar di Indonesia dan letaknya di tengah-tengah
gugus pulau Indonesia. Menjadikannya sebagai model dan modal dapat meningkat
kesejahteraan secara makro & mikro. Sungai Kahayan yang ada padanya dapat
memadukan konsep transportasi air dan jalan raya, seperti di negara-negara maju
lainnya. Keindahan Kahayan secantik sungai-sungai di Eropa. Di mana warga dapat
bersantai dan menikmati keindahan kota yang dialiri sungai, bukan sungai yang
hitam dan dialiri jutaan sampah, seperti Jakarta. Kahayan strategis, karena
pembangunan dapat ditekan di sekitarnya, sehingga ia terlihat indah. Berbeda
dengan Jakarta yang harus dikosongkan dahulu lahan sekitar sungainya yang
nantinya menimbulkan konflik sengketa lahan pastinya.
Indonesia
pernah bekerja sama dengan Uni Soviet dalam hal ini. Para insinyur dari Rusia
pun didatangkan untuk membangun jalan raya di lahan gambut. Pembangunan ini
berjalan dengan baik. Namun, sejak Soekarno lengser. Mulailah bencana yang
dapat dijamin ini. Soeharto tak ingin melanjutkan rencana pemindahan ibukota ke
Kalimantan. Jawa kembali jadi sentral semua segi kehidupan.
Dampaknya
Jakarta jadi semrawut, harapan untuk menciptakan ibukota yang megah dan
berwibawa hilang bersamaan dengan diktatoristik Soeharto. Memindahkan Ibukota memang bukanlah perkara mudah. Perlu upaya dan
semangat bersama dalam merealisasikannya.
Ada banyak
contoh komparasi yang dapat dijadikan acuan. Kita dapat Belajar dari Malaysia
yang juga pernah memindahkan pusat pemerintahannya ke Putrajaya, karena Kuala
Lumpur dianggap sudah tak lagi ideal. Atau Turki yang memindahkan ibu kota dari
Istambul ke Ankara. Demikian juga Brasil dari Rio de Janeiro ke Brasilia. Di
Asia Tenggara ada Burma yang memindahkan ibu kota dari Yangoon ke Naypyidaw
Oleh karena
itu, kepada seluruh instrumen pemerintahan bangsa, pemindahan ibukota Negara
ini adalah cara mencapai kesejahteraan makro & mikro. Ia hanyalah
pelaksanaan yang tertunda. Tidak perlu untuk menunggu Jakarta tenggelam dan
collapse, barulah kita berbuat demikian.
MIREZA FITRIADI
MAHASISWA FAKULTAS
HUKUM UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar