search...

Rabu, 06 Maret 2013


Jangan Tunggu Jakarta Tenggelam

“Jadikanlah Palangkaraya sebagai modal dan model Republik Indonesia, Soekarno, Founding Father Republik Indonesia”
Kejadian banjir yang menimpa daerah Jakarta, bukanlah hal yang dapat dikatakan fenomenal. Bahkan, banjir di Jakarta tidak dapat dikatakan sebagai bencana atau musibah. Ia hanyalah ekses dan risiko yang selalu terprediksi benar terjadi setiap tahunnya. Hal tersebut tentu berbeda dengan makna dari bencana.
Bencana dapat dimaknai dengan kejadian buruk yang datangnya tidak bisa diprediksi atau dijamin kedatangannya, hanya tuhan yang tahu. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sekalipun, tidak dapat memprediksi secara benar terjadinya suatu bencana, apalagi menjamin terjadinya. Seperti musibah gempa tsunami di Aceh, gempa Padang dan merapi Yogyakarta tidak ada seorangpun ahli yang bisa menjamin bencana tersebut terjadi. Berbeda dengan Jakarta, tanpa perhitungan ilmiah sekalipun, hanya bermodal perasaan hati, masyarakat dapat menilai Jakarta dijamin banjir setiap tahunnya. Penyebabnya sederhana namun sangat mendasar, yaitu kekeliruan sistem pembangunan pada Jakarta. Dikatakan keliru, karena harusnya eksistensi ibukota negara hanyalah terfokus pada dua hal saja, pusat pemerintahan & keuangan. Namun, entah salah siapa yang memaksakan Jakartasentris, sehingga semua terpusat di Jakarta, mulai dari industri, hiburan, bahkan sampah dengan jumlah 8609 ton. Angka yang sangat tidak layak dan memalukan bagi sebuah Ibukota Negara.
            Maka obat dari masalah di atas adalah pembangunan yang terintegrasi, hal itu sudah dicanangkan sejak lama. Terintegrasi artinya setiap kota atau daerah memiliki fungsi yang saling terspesialisasi satu sama lainnya, sehingga mengharuskan daerah satu dan yang lainnya untuk saling berhubungan, bukan terpusat sehingga daerah pinggiran terabaikan. Namun, egoisme penguasa menyebabkan pelaksanaan tertunda, bahkan sampai 67 tahun Indonesia Merdeka.
            Pemindahan Ibukota Negara adalah ide utama dari pelaksanaannya. Saya sepakat dengan ide Soekarno untuk memindahkan ibukota negara ke Palangkaraya. Jangankan Soekarno, bangsa penjajahpun sejak lama telah berpikir sama. Sejak zaman kolonial Belanda, pemerintah pada saat itu sudah memprediksi bahwa Batavia tidak ideal sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian.
Pilihan kota Palangkaraya dapat dikatakan ideal, karena selain mengubah konsep Jawasentris. Secara filosofis, Jakarta sebagai ibukota adalah peninggalan zaman kolonial, bukan ibukota hasil konsep orisinal anak bangsa. Selain itu, Kalimantan adalah pulau terbesar di Indonesia dan letaknya di tengah-tengah gugus pulau Indonesia. Menjadikannya sebagai model dan modal dapat meningkat kesejahteraan secara makro & mikro. Sungai Kahayan yang ada padanya dapat memadukan konsep transportasi air dan jalan raya, seperti di negara-negara maju lainnya. Keindahan Kahayan secantik sungai-sungai di Eropa. Di mana warga dapat bersantai dan menikmati keindahan kota yang dialiri sungai, bukan sungai yang hitam dan dialiri jutaan sampah, seperti Jakarta. Kahayan strategis, karena pembangunan dapat ditekan di sekitarnya, sehingga ia terlihat indah. Berbeda dengan Jakarta yang harus dikosongkan dahulu lahan sekitar sungainya yang nantinya menimbulkan konflik sengketa lahan pastinya.
Indonesia pernah bekerja sama dengan Uni Soviet dalam hal ini. Para insinyur dari Rusia pun didatangkan untuk membangun jalan raya di lahan gambut. Pembangunan ini berjalan dengan baik. Namun, sejak Soekarno lengser. Mulailah bencana yang dapat dijamin ini. Soeharto tak ingin melanjutkan rencana pemindahan ibukota ke Kalimantan. Jawa kembali jadi sentral semua segi kehidupan.
Dampaknya Jakarta jadi semrawut, harapan untuk menciptakan ibukota yang megah dan berwibawa hilang bersamaan dengan diktatoristik Soeharto. Memindahkan Ibukota  memang bukanlah perkara mudah. Perlu upaya dan semangat bersama dalam merealisasikannya.
Ada banyak contoh komparasi yang dapat dijadikan acuan. Kita dapat Belajar dari Malaysia yang juga pernah memindahkan pusat pemerintahannya ke Putrajaya, karena Kuala Lumpur dianggap sudah tak lagi ideal. Atau Turki yang memindahkan ibu kota dari Istambul ke Ankara. Demikian juga Brasil dari Rio de Janeiro ke Brasilia. Di Asia Tenggara ada Burma yang memindahkan ibu kota dari Yangoon ke Naypyidaw
Oleh karena itu, kepada seluruh instrumen pemerintahan bangsa, pemindahan ibukota Negara ini adalah cara mencapai kesejahteraan makro & mikro. Ia hanyalah pelaksanaan yang tertunda. Tidak perlu untuk menunggu Jakarta tenggelam dan collapse, barulah kita berbuat demikian.

MIREZA FITRIADI
MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar