search...

Rabu, 06 Maret 2013


Perlunya Merevisi UU Narkotika

“Hukum akan selalu tertatih di belakang zaman”. Jauh sebelum Indonesia mendeklarasikan dirinya sebagai Negara Hukum, doktrin tersebut telah memastikan  bahwa kebutuhan sosial kehidupan manusia akan selalu berpacu dengan norma. Sering kali norma hukumlah yang ketinggalan. Termasuk kasus yang menjadi trending topic saat ini, Rafi Ahmad.
Memang nama Rafi Ahmad, Wanda Hamidah dan sederet nama lainnya menjadi top search pada situs pencari google. Namun, itu hanyalah isu sesaat. Ada dampak besar terhadap upaya pemberantasan barang haram tersebut sampai akhirnya BNN menyatakan jenis Narkotika yang dimiliki oleh Rafi adalah jenis baru, yaitu turunan dari narkotika golongan satu nomor 35, Katinona. Nama turunan dari katinona tersebut adalah metilon (M1), yang tidak terdaftar dalam UU Narkotika. Implikasinya, isu/usaha tentang merubah UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotikapun, juga menjadi hal utama dari sisi hukum. Komisi III DPR, BNN, POLRI, dan LSM Anti Narkoba haruslah menjadi pihak yang dominan dalam perkara ini.

Dua Faktor Utama
Setidaknya, Ada dua faktor utama yang menjadi alasan perlunya merevisi UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pertama, penegakan asas legalitas dalam hukum pidana. Seseorang tidak dapat dihukum sebelum ada yang mengaturnya. Pemidanaan pada hakikatnya adalah perbuatan negara untuk menghapus hak & kemerdekaan seseorang. Itulah alasan mengapa setiap perbuatan pidana haruslah diatur dalam peraturan tertentu. Tujuannya agar negara tidak semena-mena dalam menghakimi kebebasan seseorang. Asas ini menjadi pokok dalam pelaksanaan hukum pidana di Indonesia. Sehingga melihat keadaan sekarang, secara hukum perbuatan memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan M1 bukanlah suatu kejahatan di Indonesia. Padahal secara medis, katinona memiliki dampak yang sama atau bahkan lebih parah dari amfetamin.
Lebih buruk, penjualan katinona menjadi momok yang sangat menguntungkan bagi transaksi narkotika internasional, karena dapat beralasan bahwa M1 adalah legal di Indonesia. Sehingga mereka tidak bisa ditangkap. Sangat berlawanan dengan negara tetangga Malaysia, Singapura dan Thailand yang melarang katinona dan turunannya untuk dijual karena masuk dalam kategori narkotika. Hal demikian tentu sangat tidak diinginkan oleh setiap penggiat anti narkoba. Karena bisa berdampak sangat buruk pada moral bangsa. Perlunya revisi UU agar zat berbahaya lain yang belum terdaftar juga dimasukkan, sehingga penegakan hukum lebih maksimal. Karena masih ada belasan atau mungkin puluhan zat berbahaya lain yang perlu didaftarkan.
Kedua, dalam UU No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan RI, untuk merubah suatu Peraturan setidaknya haruslah memenuhi beberapa kriteria. Adanya pemenuhan kebutuhan hukum masyarakat, tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi, Undang-undang baru, serta Perjanjian Internasional merupakan kriteria yang harus terpenuhi untuk merevisi suatu UU. Kasus Rafi Ahmad hanyalah permulaan kecil dari luasnya jaringan narkoba. Revisi UU Narkotika, dapat dikategorikan pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Masih banyak sindikat Narkoba yang bebas bertransaksi karena lepas dari jerat hukum yang berlaku. Upaya pencegahan tidaklah cukup, ia haruslah dibarengi dengan instrumen hukum yang kuat demi terwujudnya Indonesia Bebas Narkoba 2015. Mengutip slogan salah seorang punggawa hukum Indonesia, “Keep Fight for The Better Indonesia”

MIREZA FITRIADI
MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar