Perlunya Merevisi UU Narkotika
“Hukum akan selalu tertatih di belakang zaman”. Jauh sebelum
Indonesia mendeklarasikan dirinya sebagai Negara Hukum, doktrin tersebut telah
memastikan bahwa kebutuhan sosial
kehidupan manusia akan selalu berpacu dengan norma. Sering kali norma hukumlah
yang ketinggalan. Termasuk kasus yang menjadi trending topic saat ini, Rafi
Ahmad.
Memang nama Rafi Ahmad, Wanda Hamidah dan sederet nama
lainnya menjadi top search pada situs pencari google. Namun, itu hanyalah isu
sesaat. Ada dampak besar terhadap upaya pemberantasan barang haram tersebut
sampai akhirnya BNN menyatakan jenis Narkotika yang dimiliki oleh Rafi adalah
jenis baru, yaitu turunan dari narkotika golongan satu nomor 35, Katinona. Nama
turunan dari katinona tersebut adalah metilon (M1), yang tidak terdaftar dalam
UU Narkotika. Implikasinya, isu/usaha tentang merubah UU No 35 Tahun 2009
tentang Narkotikapun, juga menjadi hal utama dari sisi hukum. Komisi III DPR,
BNN, POLRI, dan LSM Anti Narkoba haruslah menjadi pihak yang dominan dalam
perkara ini.
Dua Faktor Utama
Setidaknya, Ada dua faktor utama yang menjadi alasan perlunya
merevisi UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pertama, penegakan asas
legalitas dalam hukum pidana. Seseorang tidak dapat dihukum sebelum ada yang
mengaturnya. Pemidanaan pada hakikatnya adalah perbuatan negara untuk menghapus
hak & kemerdekaan seseorang. Itulah alasan mengapa setiap perbuatan pidana
haruslah diatur dalam peraturan tertentu. Tujuannya agar negara tidak
semena-mena dalam menghakimi kebebasan seseorang. Asas ini menjadi pokok dalam
pelaksanaan hukum pidana di Indonesia. Sehingga melihat keadaan sekarang,
secara hukum perbuatan memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan M1 bukanlah suatu kejahatan di Indonesia. Padahal secara medis,
katinona memiliki dampak yang sama atau bahkan lebih parah dari amfetamin.
Lebih buruk, penjualan katinona menjadi momok yang sangat
menguntungkan bagi transaksi narkotika internasional, karena dapat beralasan
bahwa M1 adalah legal di Indonesia. Sehingga mereka tidak bisa ditangkap.
Sangat berlawanan dengan negara tetangga Malaysia, Singapura dan Thailand yang
melarang katinona dan turunannya untuk dijual karena masuk dalam kategori
narkotika. Hal demikian tentu sangat tidak diinginkan oleh setiap penggiat anti
narkoba. Karena bisa berdampak sangat buruk pada moral bangsa. Perlunya revisi
UU agar zat berbahaya lain yang belum terdaftar juga dimasukkan, sehingga
penegakan hukum lebih maksimal. Karena masih ada belasan atau mungkin puluhan
zat berbahaya lain yang perlu didaftarkan.
Kedua, dalam UU No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan perundang-undangan RI, untuk merubah suatu Peraturan setidaknya
haruslah memenuhi beberapa kriteria. Adanya pemenuhan kebutuhan hukum
masyarakat, tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi, Undang-undang baru,
serta Perjanjian Internasional merupakan kriteria yang harus terpenuhi untuk
merevisi suatu UU. Kasus Rafi Ahmad hanyalah permulaan kecil dari luasnya
jaringan narkoba. Revisi UU Narkotika, dapat dikategorikan pemenuhan kebutuhan
masyarakat.
Masih banyak sindikat Narkoba yang bebas bertransaksi karena
lepas dari jerat hukum yang berlaku. Upaya pencegahan tidaklah cukup, ia
haruslah dibarengi dengan instrumen hukum yang kuat demi terwujudnya Indonesia
Bebas Narkoba 2015. Mengutip slogan salah seorang punggawa hukum Indonesia,
“Keep Fight for The Better Indonesia”
MIREZA FITRIADI
MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar