search...

Rabu, 06 Maret 2013

Penyerapan Lambat, Tanggung Jawab Siapa?


Perseoalan penggunaan anggaran belanja negara setiap tahunnya tidak banyak berubah, yaitu lambatnya penyerapan. Hal itu terlihat dari maraknya proyek dan belanja dadakan pemerintah yang kerap terjadi tiap akhir tahun. Sehingga, bukanlah fenomena yang aneh jika akhir-akhir ini sering diadakan lomba, seminar, simposium, lokakarya, studi banding atau hal lain yang dibenarkan secara administratif namun minim manfaat.
Mengapa hal ini sering terjadi? Jawabannya tergantung pada subyek pemerintah tertentu. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Armida Alisjahbana mengatakan bahwa itu terjadi karena kurangnya koordinasi ditingkat internal dan eksternal, yaitu antara kuasa pengguna anggaran (KPA) dan panitia pengguna anggaran (PPA). Selain itu, buruknya perencanaan pada kementerian teknis, perubahan organisasi dan pergantian pejabat, ketakutan satuan kerja memulai proses tender, serta kurangnya pemahaman pengguna anggaran terhadap peraturan menyebabkan realisasi anggaran menjadi rendah.
Lantas, secara hukum, siapa yang seharusnya bertanggung jawab? Kesalahan praktek yang banyak terjadi adalah selalu diarahkan bahwa masalah ini adalah tanggung jawab pemerintah. Artinya, saat sebuah kementrian/lembaga eksekutif lain tidak maksimal dalam menyerap anggaran, maka pejabat di atasnyalah yang dipertanyakan. Secara administratif, mungkin hal itu dapat dibenarkan karena setiap instansi dapat menjalankan fungsi pengawasan melekat. Namun, kelemahannya adalahdari sudut pandang budgeting, pengwawasan itu dapat mengurangi alokasi anggaran untuk departemen itu sendiri.
Padahal dilihat dari sudut pandang hukum positif Indonesia, tanggung jawab konstitusionil terhadap pelaksanaan anggaran terletak  pada DPR, walaupun DPD juga diperintahkan untuk mengawasi pelaksanaan APBN, kewenangan menindak lanjuti tetap pada DPR. Hal itu dikarenakan, Konstitusi RI mengamanatkan pada DPR untuk menjalankan tiga fungsi: legislasi, budgeting, dan pengawasan (pasal 20A ayat 1). Terkait pelaksanaan anggaran, fungsi yang dipakai adalah pengawasan fiskal.  
Karena secara yuridis setiap anggota DPR, setiap saat dapat mengawasi pemerintah, maka dengan bargaining position yang kuat ini, DPR dapat melakukan rapat kerja dengan instansi yang bermasalah penyerapannya kapanpun, serta menelaah dan menindaklanjuti laporan BPK (22E ayat 3). Hasil pemeriksaan itu juga membantu DPR dalam rangka memberikan persetujuan atas PAN yang diajukan oleh Pemerintah.  Sehingga, masalah lambatnya penyerapan pada akhirnya dapat teratasi dengan kekuatan legislatif (legislative execution).
Walaupun keadaan lapangan saat ini  rapat DPR dengan pemerintah jarang sekali mengagendakan pembahasan tindak lanjut laporan hasil pemeriksaan BPK/penyerapan lambat, bukan berarti hal demikian menghambat kinerja DPR untuk menindak lanjuti permasalahan rutin akhir tahun ini. Karena bagaimanapun, keberadaan lembaga perwakilan sebagai pengawas pelaksanaan anggaran harus dijalankan secara kuat, jujur, dan profesional demi terbentuknya negara hukum yang hidup berdasar prinsip demokratis.

Mireza Fitriadi
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada