Perseoalan penggunaan anggaran
belanja negara setiap tahunnya tidak banyak berubah, yaitu lambatnya penyerapan.
Hal itu terlihat dari maraknya proyek dan belanja dadakan pemerintah yang kerap
terjadi tiap akhir tahun. Sehingga, bukanlah fenomena yang aneh jika
akhir-akhir ini sering diadakan lomba, seminar, simposium, lokakarya, studi
banding atau hal lain yang dibenarkan secara administratif namun minim manfaat.
Mengapa hal ini sering terjadi?
Jawabannya tergantung pada subyek pemerintah tertentu. Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional, Armida Alisjahbana mengatakan bahwa itu terjadi karena kurangnya koordinasi
ditingkat internal dan eksternal, yaitu antara kuasa pengguna anggaran (KPA) dan panitia pengguna anggaran
(PPA). Selain itu, buruknya perencanaan pada kementerian teknis, perubahan
organisasi dan pergantian pejabat, ketakutan satuan kerja memulai proses
tender, serta kurangnya pemahaman pengguna anggaran terhadap peraturan
menyebabkan realisasi anggaran menjadi rendah.
Lantas, secara hukum, siapa yang
seharusnya bertanggung jawab? Kesalahan praktek yang banyak terjadi adalah
selalu diarahkan bahwa masalah ini adalah tanggung jawab pemerintah. Artinya,
saat sebuah kementrian/lembaga eksekutif lain tidak maksimal dalam menyerap
anggaran, maka pejabat di atasnyalah yang dipertanyakan. Secara administratif,
mungkin hal itu dapat dibenarkan karena setiap instansi dapat menjalankan
fungsi pengawasan melekat. Namun, kelemahannya adalah—dari sudut pandang budgeting, pengwawasan itu dapat
mengurangi alokasi anggaran untuk departemen itu sendiri.
Padahal dilihat dari sudut pandang
hukum positif Indonesia, tanggung jawab konstitusionil terhadap pelaksanaan anggaran
terletak pada DPR, walaupun DPD juga
diperintahkan untuk mengawasi pelaksanaan APBN, kewenangan menindak lanjuti
tetap pada DPR. Hal itu dikarenakan, Konstitusi RI mengamanatkan pada DPR untuk
menjalankan tiga fungsi: legislasi, budgeting, dan pengawasan (pasal 20A ayat
1). Terkait pelaksanaan anggaran, fungsi yang dipakai adalah pengawasan fiskal.
Karena secara yuridis setiap anggota
DPR, setiap saat dapat mengawasi pemerintah, maka dengan bargaining position yang kuat ini, DPR dapat melakukan rapat kerja
dengan instansi yang bermasalah penyerapannya kapanpun, serta menelaah dan
menindaklanjuti laporan BPK (22E ayat 3). Hasil
pemeriksaan itu juga membantu DPR dalam rangka memberikan persetujuan atas PAN
yang diajukan oleh Pemerintah. Sehingga, masalah
lambatnya penyerapan pada akhirnya dapat teratasi dengan kekuatan legislatif (legislative execution).
Walaupun keadaan lapangan saat ini rapat DPR dengan pemerintah jarang sekali mengagendakan
pembahasan tindak lanjut laporan hasil pemeriksaan BPK/penyerapan lambat, bukan
berarti hal demikian menghambat kinerja DPR untuk menindak lanjuti permasalahan
rutin akhir tahun ini. Karena bagaimanapun, keberadaan lembaga perwakilan
sebagai pengawas pelaksanaan anggaran harus dijalankan secara kuat, jujur, dan
profesional demi terbentuknya negara hukum yang hidup berdasar prinsip
demokratis.
Mireza Fitriadi
Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada