(KORAN SINDO, APRIL 2011)
Selama kurang lebih satu setengah
bulan konflik internal Libya telah menelan 181 korban sipil, dan 52 korban
militer dan kesemua korban itu adalah warga Libya sendiri(sumber:
www.libya-alyoum.com). Konflik internal dengan tujuan menjatuhkan rezim Qhadafi
ini, telah mengundang berbagai campur tangan dari pihak asing,baik itu negara maupun organisasi
internasional. Campur tangan asing ini telah mengundang berbagai kontroversi terutama
isu akan penguasaan suplai migas Libya oleh negara barat.
Lantas, bagaimanakah campur
tangan ini dipandang secara hukum internasional ? J.G.Starke dalam bukunya Introduction to International Law
menjelaskan ada lima hal yang dapat dijadikan sumber hukum Internasional:
kebiasaan internasional, traktat, keputusan-keputusan atau ketetapan organ
lembaga internasional atau konferensi internasional,karya-karya hukum, serta
doktrin dari ahli hukum.
Pendapat Starke ini diaminkan oleh pasal 38 statuta ICJ (international Court of Justuce) yang
memerintahkan Mahkamah untuk menerapkan “ajaran dari ahli hukum terkemuka dari
berbagai negara, sebagai alat tambahan untuk menentukan kaidah-kaidah hukum.” Ada
beberapa pendapat dari ahli hukum terkemuka yang daat dijadikan alasan.
Professor
Richard Falk, dalam bukunya “The
Legitimacy of Intervension by the United Nations” pernah mengatakan bahwa
tata tertib dalam negeri tidak pernah bisa dipahami dalam pengertian yang
ketat. Sudah menjadi hal yang lumrah untuk menerima kenyataan akan saling ketergantungan[negara barat
pada libya] antar negara/kelompok dalam segala hal. Maka tidaklah
mengherankan apabila suatu negara sering mempersoalkan situasi yang terjadi di dalam wilayah negara
lain. Pemahaman akan kedaulatan, sudah tidak seharusnya dipahami dalam
pengertian yang ekslusif dan absolut.
Dari
pernyataan Falk, dapat diambil pemahaman
kalau hal ini semakin menyadarkan masyarakat internasional bahwa pemisahan antara mana yang merupakan
persoalan domestik dan mana yang persoalan internasional bukanlah hal yang mudah
untuk dipahami secara gamblang.
Dilihat secara
hukum Internasional, sebenarnya pihak luar dapat melakukan intervensi dalam
suatu negara, hal ini didasarkan pada dua doktrin teoritis. Pertama, teori
kedaulatan relatif dari Richard Falk dan teori yang sering melandasi dalam
berbagai kasus intervensi asing terhadap negara konflik di dunia, yaitu teori humanitarian intervension atau teori
intervensi nilai-nilai kemanusiaan (John
O’Brian). Dalam intervensi nilai-nilai kemanusiaan, adalah hal yang sah-sah
saja suatu negara melakukan intervensi terhadap masalah negara lain jika
memenuhi empat syarat: harus adanya ancaman terhadap HAM, intervensi hanya dilakukan
untuk perlindungan atas HAM, tindakan bukan berdasar pada undangan dari
pemerintahan setempat dan tidak dilakukan atas resolusi dewan keamanan.
Itulah
dasar-dasar hukum internasional yang dapat dijadikan alasan intervensi NATO
dalam perang saudara di Libya. Melihat
contoh sekarang yang terjadi pada negara Libya, hal krusial yang melandasi humanitarian intervension dalam kasus
negara Libya adalah faktor saling ketergantungan negara-negara di dunia
terutama negara Barat terhadap minyak Libya dan faktor korban sipil yang berjatuhan
selama konflik internal Libya.
Penulis
menyadari adanya kemungkinan hidden
agenda dari negara-negara barat dalam menyelesaikan konflik kemanuasiaan di
Libya, mengingat dari sisi energy security, negara-negara seperti Amerika, Italia,
Spanyol, dan Prancis merupakan negara-negara dengan cadangan migas di perut
bumi sangat minim. Mereka tentu membutuhkan semacam jaminan jangka panjang bahwa minyak
Libya tidak akan ‘dibelokkan’ ke negara lain,misalnya ke China atau India yang
juga sangat haus terhadap jaminan suplai jangka panjang. Saat ini China dan
India sudah masuk ke Libya melalui BUMN migas mereka. Lantaran lonjakan
kebutuhan energi yang sangat besar,terutama China,terjadi persaingan yang ketat
dalam ‘merebut’ sumber-sumber energi dunia, terutama migas.Saat ini BUMN migas
China sudah merambah melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di sekitar
70 negara di dunia, termasuk Libya. Menurut BP Statistics 2010, Libya
memiliki kekayaan alam berupa cadangan terbukti (proven reserves) minyak
mentah yang relatif sangat besar
Oleh karena
itu butuh suatu kekuatan/badan hukum yang memiliki kewenangan kuat untuk
mengawasi pergerakan tentara NATO dalam menjalani operasi. Kekuatan/badan hukum
itu dapat berupa suatu komisi yang memiliki kewenangan kuat atau berupa aturan
mengikat yang dapat menjamin proses pedamaian berjalan tanpa tekanan. Hal ini mengingat
di dalam NATO Charter tidak ada badan
khusus yang bertugas untuk mengawasi tentara NATO dalam bertugas,sehingga
berkemungkinan terjadinya penyimpangan oleh tentara NATO dalam bertindak
(membunuh warga sipil misalnya).
Selain itu tidak adanya aturan yang check and balances antara UN Charter dan NATO Charter dalam
penugasan tentara. Celah hukum inilah yang perlu diperbaiki untuk menjamin
proses humanitarian intervension baik
dalam kasus negara Libya maupun dalam kasus internasional lainnya. Celah hukum
itu dapat diperbaiki dalam sidang Majelis Umum PBB, Dewan Keamanan, dan NATO
sendiri.
Untuk dapat
mengatasi celah hukum ini, dibutuhkan kampanye dari berbagai negara agar
masalah ini dapat diusulkan dalam sidang umum PBB. Negara-negara itu terutama
negara-negara yang concern terhadap
gerakan non blok agar tidak ada kesan memihak, keberpihakan negara non blok
adalah keberpihakan terhadap kebenaran, bukan golongan tertentu. Oleh karena
itu negara-negara seperti INDONESIA adalah negara yang diharapkan untuk menjadi
peoneer dalam mengkampanyekan check and balances antara NATO charter dan UN charter.
Jika celah
hukum ini dapat diatasi, maka kita tidak akan mendengar lagi isu-isu
internasional tentang penyalahgunaan wewenang dalam melaksanakan humanitarian intervension, seperti yang
pernah terjadi di Irak dan Afghanistan pada tahun-tahun sebelumnya.
MIREZA FITRIADI
MAHASISWA FAKULTAS
HUKUM UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar