search...

Rabu, 06 Maret 2013

Intervensi NATO Terhadap Libya, Salahkah?


(KORAN SINDO, APRIL 2011)

Selama kurang lebih satu setengah bulan konflik internal Libya telah menelan 181 korban sipil, dan 52 korban militer dan kesemua korban itu adalah warga Libya sendiri(sumber: www.libya-alyoum.com). Konflik internal dengan tujuan menjatuhkan rezim Qhadafi ini, telah mengundang berbagai campur tangan dari  pihak asing,baik itu negara maupun organisasi internasional. Campur tangan asing ini telah mengundang berbagai kontroversi terutama isu akan penguasaan suplai migas Libya oleh negara barat.
Lantas, bagaimanakah campur tangan ini dipandang secara hukum internasional ? J.G.Starke dalam bukunya Introduction to International Law menjelaskan ada lima hal yang dapat dijadikan sumber hukum Internasional: kebiasaan internasional, traktat, keputusan-keputusan atau ketetapan organ lembaga internasional atau konferensi internasional,karya-karya hukum, serta doktrin dari ahli hukum.  
Pendapat Starke ini diaminkan oleh pasal 38 statuta ICJ (international Court of Justuce) yang memerintahkan Mahkamah untuk menerapkan “ajaran dari ahli hukum terkemuka dari berbagai negara, sebagai alat tambahan untuk menentukan kaidah-kaidah hukum.” Ada beberapa pendapat dari ahli hukum terkemuka yang daat dijadikan alasan.
Professor Richard Falk, dalam bukunya “The Legitimacy of Intervension by the United Nations” pernah mengatakan bahwa tata tertib dalam negeri tidak pernah bisa dipahami dalam pengertian yang ketat. Sudah menjadi hal yang lumrah untuk menerima kenyataan akan saling ketergantungan[negara barat pada libya] antar negara/kelompok dalam segala hal. Maka tidaklah mengherankan apabila suatu negara sering mempersoalkan  situasi yang terjadi di dalam wilayah negara lain. Pemahaman akan kedaulatan, sudah tidak seharusnya dipahami dalam pengertian yang ekslusif dan absolut.
Dari pernyataan Falk,  dapat diambil pemahaman kalau hal ini semakin menyadarkan masyarakat internasional bahwa  pemisahan antara mana yang merupakan persoalan domestik dan mana yang persoalan internasional bukanlah hal yang mudah untuk dipahami secara gamblang.
Dilihat secara hukum Internasional, sebenarnya pihak luar dapat melakukan intervensi dalam suatu negara, hal ini didasarkan pada dua doktrin teoritis. Pertama, teori kedaulatan relatif dari Richard Falk dan teori yang sering melandasi dalam berbagai kasus intervensi asing terhadap negara konflik di dunia, yaitu teori humanitarian intervension atau teori intervensi nilai-nilai kemanusiaan (John O’Brian). Dalam intervensi nilai-nilai kemanusiaan, adalah hal yang sah-sah saja suatu negara melakukan intervensi terhadap masalah negara lain jika memenuhi empat syarat: harus adanya ancaman terhadap HAM, intervensi hanya dilakukan untuk perlindungan atas HAM, tindakan bukan berdasar pada undangan dari pemerintahan setempat dan tidak dilakukan atas resolusi dewan keamanan.
Itulah dasar-dasar hukum internasional yang dapat dijadikan alasan intervensi NATO dalam  perang saudara di Libya. Melihat contoh sekarang yang terjadi pada negara Libya, hal krusial yang melandasi humanitarian intervension dalam kasus negara Libya adalah faktor saling ketergantungan negara-negara di dunia terutama negara Barat terhadap minyak Libya dan faktor korban sipil yang berjatuhan selama konflik internal Libya.
Penulis menyadari adanya kemungkinan hidden agenda dari negara-negara barat dalam menyelesaikan konflik kemanuasiaan di Libya, mengingat dari sisi energy security, negara-negara seperti Amerika, Italia, Spanyol, dan Prancis merupakan negara-negara dengan cadangan migas di perut bumi sangat minim. Mereka tentu membutuhkan semacam jaminan jangka panjang bahwa minyak Libya tidak akan ‘dibelokkan’ ke negara lain,misalnya ke China atau India yang juga sangat haus terhadap jaminan suplai jangka panjang. Saat ini China dan India sudah masuk ke Libya melalui BUMN migas mereka. Lantaran lonjakan kebutuhan energi yang sangat besar,terutama China,terjadi persaingan yang ketat dalam ‘merebut’ sumber-sumber energi dunia, terutama migas.Saat ini BUMN migas China sudah merambah melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di sekitar 70 negara di dunia, termasuk Libya. Menurut BP Statistics 2010, Libya memiliki kekayaan alam berupa cadangan terbukti (proven reserves) minyak mentah yang relatif sangat besar
Oleh karena itu butuh suatu kekuatan/badan hukum yang memiliki kewenangan kuat untuk mengawasi pergerakan tentara NATO dalam menjalani operasi. Kekuatan/badan hukum itu dapat berupa suatu komisi yang memiliki kewenangan kuat atau berupa aturan mengikat yang dapat menjamin proses pedamaian berjalan tanpa tekanan. Hal ini mengingat di dalam NATO Charter tidak ada badan khusus yang bertugas untuk mengawasi tentara NATO dalam bertugas,sehingga berkemungkinan terjadinya penyimpangan oleh tentara NATO dalam bertindak (membunuh warga sipil misalnya).
 Selain itu tidak adanya aturan yang check and balances antara UN Charter dan NATO Charter dalam penugasan tentara. Celah hukum inilah yang perlu diperbaiki untuk menjamin proses humanitarian intervension baik dalam kasus negara Libya maupun dalam kasus internasional lainnya. Celah hukum itu dapat diperbaiki dalam sidang Majelis Umum PBB, Dewan Keamanan, dan NATO sendiri.
Untuk dapat mengatasi celah hukum ini, dibutuhkan kampanye dari berbagai negara agar masalah ini dapat diusulkan dalam sidang umum PBB. Negara-negara itu terutama negara-negara yang concern terhadap gerakan non blok agar tidak ada kesan memihak, keberpihakan negara non blok adalah keberpihakan terhadap kebenaran, bukan golongan tertentu. Oleh karena itu negara-negara seperti INDONESIA adalah negara yang diharapkan untuk menjadi peoneer dalam mengkampanyekan check and balances antara NATO charter dan UN charter.
Jika celah hukum ini dapat diatasi, maka kita tidak akan mendengar lagi isu-isu internasional tentang penyalahgunaan wewenang dalam melaksanakan humanitarian intervension, seperti yang pernah terjadi di Irak dan Afghanistan pada tahun-tahun sebelumnya.
MIREZA FITRIADI
MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar